Selasa, 04 Februari 2014

RSBI; Reproduksi Kesenjangan Sosial

Oleh Moh. Mudzakkir[1]

Polemik tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dua minggu ini cukup menyita perhatian publik. Bahkan salah satu media nasional menjadikan tema ini sebagai headline, “Program RSBI Gagal Total” (Rabu, 4 Januari 2012). Program yang telah diimplemetasikan oleh Pemerintah sejak tahun 2005 ini dinilai gagal atau dianggap belum memenuhi ekspektasi pembuat kebijakan. Dari evaluasi kemendikbud, program RSBI hingga awal 2012 belum ada satu pun RSBI yang lolos menjadi Sekolah Berstandar internasional (SBI).  Hal ini disebabkan karena belum terpenuhinya keberadaan guru RSBI yang berijazah S2 (20 % guru SMA dan 30 % guru SMK), disamping juga masih minimnya penguasaan bahasa Inggris oleh para guru di RSBI.
Meskipun demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Muhammad Nuh, masih tetap optimis bahwa program RSBI belum berhasil bukan berarti gagal total karena memang program ini masih dalam proses. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ke depan program ini tetap dilaksanakan tentu dengan peningkatan dan perbaikan yang didasarkan pada evaluasi kemendikbud. Wujud konkretnya pemerintah tetap akan memberikan subsidi sekolah-sekolah yang berlabel RSBI serta memberikan pendanaan bagi guru-guru RSBI yang belum menempuh S2. Pemerintah juga akan menghentikan sementara permohonan usulan RSBI baru di setiap jenjang pendidikan.
Patut diapresiasi keberanian Kemendikbud dalam merilis “kegagalan” Program RSBI yang didasarkan pada evaluasi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan-nya di awal tahun 2012 ini. Jarang sekali sebuah instansi yang secara jujur mengakui ketidakberhasilan program kerjanya. Tentu ini menunjukkan sebuah budaya good governance secara prosedural (akuntabilitas dan transparansi), meskipun secara subtansial bisa jadi kebijakan yang dibuat bertentangan dengan filosofi negara (baca; Pancasila dan UUD) bila dikaitkan dengan hak dasar warga negara, yaitu persamaan hak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap warga negara.
Kelompok yang tidak sepakat dengan kebijakan RSBI beragurgmen bahwa program ini bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD, karena secara sadar Pemerintah telah melakukan diskriminasi pelayanan pendidikan, mengedepankan nilai-nilai internasionalisme daripada nasionalisme dan membiarkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Pemerintah juga tak kalah argumentasi, bahwa program RSBI ini merupakan derivasi dari amanat Pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam aturan tersebut dinyatakan; “Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”.  Landasan yuridis inilah yang membuat pemerintah (kemendikbud) tetap percaya diri untuk melanjutkan program RSBI meskipun dianggap gagal dan mendapatkan kritikan yang tajam dari berbagai kalangan. Kelompok kontra (Koalisi Pendidikan, ICW, YLBHI, Elsam, LBH Pendidikan, FSGI) kebijakan ini pun juga tak mau kalah langkah, mereka melayangkan gugatan (judicial review) pada tanggal 28 Desember 2011, terhadap regulasi tersebut yang dianggap menjadi dasar penyelenggaraan RSBI.
Selain perdebatan dasar hukum yang digunakan, yang lebih menarik dalam perspektif penulis adalah argumentasi yang berkaitan dengan peningkatan prestasi siswa dan persaingan global (isasi). Hal ini seperti yang seringkali disampaikan oleh Mendikbud Muhammad Nuh, bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya RSBI adalah untuk menampung pelajar-pelajar Indonesia yang berprestasi. Menurutnya diperlukan perlakukan khusus bagi mereka (siswa) yang mempunyai keunggulan prestasi (tentu yang dimaksud prestasi akademik) agar mereka dapat berkembang dan mampu bersaing di tingkat global. Maka selain siswa memiliki nilai mata pelajaran yang memuaskan (dibuktikan dengan nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) tinggi), mereka juga mempunyai penguasaan bahasa Inggris yang mumpuni.  Di lain kesempatan, dalam waktu yang berbeda baik Muhammad Nuh dan Suyanto (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah) juga pernah menyampaikan bahwa selain meningkatkankan kualitas pendidikan untuk bersaing di era global, RSBI diharapkan bisa menghemat pengeluaran devisa negara. Sebab, RSBI bisa menekan jumlah orang-orang (kelas menengah ke atas) menyekolahkan anaknya ke luar negeri.
Sadar atau tidak argumentasi yang dikemukan oleh pemerintah menunjukkan standpoint dalam wacana globalisasi. Pemerintah menerima “globalisasi” sebagai diskursus yang nyata dan bahkan kalau perlu mengimplementasikan globalis(me)asi  pra-syarat untuk maju. Kalau dalam persoalan ekonomi politik pemerintah kita sudah menganut doktrin globalisasi (yang diboncengi neoliberalisme), pelan tapi pasti kebijakan di sektor pendidikan juga akan atau bahkan telah menganut paradigma (neo)liberal. Ambil contoh kasus UU Sisdiknas, bagaimana tanggung jawab pemerintah (baca; Negara) dalam pembiayaan pendidikan dikurangi, atas dalih mengajak partisipasi masyarakat agar lebih merasa memiliki. Justru sebaliknya, hal ini membawa konsekuensi pada terjadinya privatisasi dan komodifikasi di kalangan masyarakat.
Belum lagi ditambah dengan kebijakan Badan Hukum Pendidikan (BHMN) yang  mempunyai spirit menjadikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi seperti mengelola Perusahaan, meskipun masih menerima subsidi dari negara PTN diharapkan juga bisa mencari pemasukan dari Mahasiswa. Liberalisasi dan Komodifikasi pendidikan pun menjadi fenomena yang wajar. Meskipun BHMN telah dibatalkan oleh MK, tapi dalam prakteknya spirit BHMN masih berjalan di berbagai PTN ternama di Indonesia. Biaya mengeyam pendidikan tinggi pun semakin mahal, tentu yang berduitlah yang bisa mengaksesnya. Para calon mahasiswa dari kelas menengah ke bawah, dengan kekuatan finansial yang pas-pasan, tentu berpikir empat kali untuk menyekolahkan anak mereka. Meskipun mereka bisa kuliah, mereka hanya mampu masuk pada  program studi yang tidak membutuhkan biaya mahal dan tidak populer dari segi pangsa kerja. Kalau pun ada beasiswa, itu pun hanya bagi yang betul-betul berprestasi dari keluarga miskin, dan bisa dipastikan jumlahnya relatif sedikit sekali.
Kembali soal RSBI, kemunculan pun tidak bisa lepas dari diskursus persaingan bebas di era globalisasi. Pemerintah dengan dasar UU Sisdiknas mempunyai kewajiban untuk membentuk SBI (Sekolah Berstandar Internasional) yang sebelumnya dimulai dengan pembetukan RSBI. Dana khusus pun diberikan dalam rangka mengenjot program ini, untuk SD yang berlabel RSBI diberikan subsidi 500 juta/tahun, SMP subsidi 400 juta/tahun, SMA subsidi 600 juta/tahun dan SMK 950 juta/tahun.  Belum lagi ditambah dengan beasiswa bagi guru yang mengajar di sekolah yang ber-label RSBI. Tentu sekolah yang berlabel RSBI adalah sekolah yang memang sudah cukup dan memang berkualitas di daerah masing-masing yang didukung dengan SDM dan finansial mencukupi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana nasib sekolah yang dianggap tidak favorit, pinggiran atau bahkan di daerah terpencil?
Tentu nasib mereka semakin mengenaskan, karena tidak menjadi perhatian utama atau prioritas kebijakan pemerintah. Padahal merekalah yang sebenarnya juga tak kalah untuk diperhatikan. Fakta yang lebih menyakitkan lagi adalah meskipun anggaran pendidikan sudah ditambah ternyata banyak infrastruktur sekolah (yang dianggap pinggiran dan kurang berprestasi) baik di kota, desa dan daerah pinggiran cukup memprihatinkan. Kasus sekolah seperti kandang ayam, sekolah roboh, dan sekolah tidak mempunyai guru yang mencukupi sudah jamak kita dengar. Belum lagi ditambah dengan kasus bocornya anggaran pendidikan di berbagai daerah akibat perilaku korup birokrasi.
Kalau dilihat dari perspektif kritis, RSBI jelas diperuntukan bagi masyarakat kelas menengah atas. Argumentasi bahwa RSBI dimaksudkan untuk menampung siswa yang berprestasi dan alasan menghemat devisa negara, karena meminimalisir orang-orang kaya menyekolahkan anak mereka ke luar negeri, jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok menengah atas. Dan memang secara faktual, siswa yang masuk ke RSBI adalah mereka yang berasal dari “kasta sosial” menengah atas. Tidak ada argumentasi khusus pemerintah tentang RSBI yang dikaitkan dengan kepentingan kelompok mayoritas masyarakat yang tidak beruntung. Padahal pemerataan kualitas pendidikan bagi kelas sosial yang tidak beruntung inilah yang seharusnya diutamakan.
Sebagai program (sekolah/kelas) internasional RSBI tentu membutuhkan pendanaan yang juga “bertarif internasional” untuk mengembangkan kualitas  suprastruktur, struktur dan infrastruktur pendidikan. Meskipun pemerintah memberikan subsidi di masing-masing jenjang pendidikan, masih saja banyak ditemui  sekolah yang ber-“merk” RSBI memungut tambahan biaya. Seakan-akan dengan label RSBI sekolah mendapatkan legitimasi untuk menarik biaya kepada siswa, dan bagi sekolah yang nakal menjadikan media menambah pemasukan tambahan. Bagi orang tua (kaya) yang terobsesi agar anaknya bisa menyandang siswa berkelas “internasional” tentu dana bukan halangan. Kalau perlu, meskipun sebenarnya anaknya tidak terseleksi masuk sekolah/kelas internasional, mereka akan berusaha merayu atau bahkan menyuap pihak sekolah demi social prestige.
Meskipun belum ada penelitian secara resmi tentang kelas sosial siswa yang masuk di RSBI, tetapi saya berasumsi bahwa “mayoritas” berasal dari kelas sosial menengah atas. Ada beberapa argumentasi yang perlu dibuktikan; pertama; siswa yang siap masuk RSBI adalah mereka anak-anak yang secara asupan gizi tercukupi atau bahkan lebih, sehingga mempengaruhi kesehatan dan kecerdasan anak secara biologis. Kedua; anak-anak secara akademik cukup baik, khusus-nya dalam mata pelajaran matematika, IPA, dan bahasa Inggris. Untuk menguasai mata pelajaran ini biasanya orang tua memberikan les tambahan atau kalau perlu les privat untuk menguasai mata pelajaran yang menjadi syarat utama masuk kelas Internasional. Ketiga, diperlukan tambahan dana khusus untuk mengikuti kelas internasional; mulai dari buku billingual, laptop, ujian internasional dan kebutuhan lainnya yang berbeda dengan sekolah/kelas reguler. Ketiga, budaya sekolah/kelas. Bagi siswa RSBI; misalnya siswa SMA 5 Surabaya, mereka seperti pindah kelas dari sekolah elit/favorit sebelumnya yang juga berlabel RSBI, yang juga mayoritas berasal dari kelas menengah atas, mereka akan sangat mudah menyesuaikan budaya belajar dengan sekolah/kelas internasional. Meskipun ada siswa dari kelas menengah bawah yang berprestasi jumlahnya relatif kecil yang bisa masuk RSBI. Kalau pun mereka bisa masuk ke kelas internasional, mereka akan mengalami shock culture ketika berinteraksi dengan teman-teman mereka yang berasal dari kelas menengah atas dengan life style yang berbeda.
Siswa-siswa alumni RSBI (nantinya SBI) akan dengan mudah masuk PTN favorit atau bahkan Perguruan Tinggi luar negeri. Dengan label alumnus SBI tentu sangat mudah bagi mereka mengikuti pelajaran di perguruan tinggi. Di kampus-kampus ternama itulah mereka memperkuat modal budaya, sosial dan simbolik mereka baik bergabung dengan organisasi intra kampus, organisasi ekstra, atau pun profesi, sehingga ketika mereka lulus kampus mereka sudah sangat siap untuk bersaing di dunia nyata. Dengan ilmu, skill dan jaringan yang mereka miliki tentu sangat gampang kalau hanya sekedar untuk bekerja atau membangun bisnis. Hal itu pun akan dilakukan oleh anak-anak mereka, sehingga ketika anak mereka masuk sekolah/perguruan tinggi favorit, sebenarnya mereka hanya menjaga tradisi keluarga (kelas menengah atas). Dan kalau pun mereka berprestasi, itu merupakan suatu hal yang wajar, dan bukan hal yang luar biasa karena mereka telah memiliki prasyarat untuk meraihnya. Kondisi ini akan sangat berbeda apabila terjadi pada anak kelas menengah bawah, mereka bukan menjaga tradisi tapi melakukan “perjuangan kelas” atau “mobilitas vertikal”.
Akhirnya, berangkat dari realitas RSBI dapat dilihat bahwa pendidikan kita masih belum mampu mem-produksi sistem sosial baru. Tapi sebaliknya, hanya mampu me-reproduksi sistem sosial status quo. Sehingga pendidikan belum mampu menjadi kekuatan untuk melakukan transformasi sosial, tapi hanya melegitimasi sistem sosial yang dominan. Dalam kasus ini, RSBI bisa dianggap berperan aktif dalam memproduksi dan merepoduksi kesenjangan sosial.**


[1] Dosen pada Prodi Sosiologi Unesa, meminati kajian Sosiologi Pendidikan, Pendidikan Kritis, dan Cultural Studies.

Terima Kasih Telah Berkunjung Di Blog MUDZAKKIROLOGY

DMCA.com Dilarang Mengcopy-Paste seluruh atau sebagian artikel di atas dalam bentuk apapun. Hak cipta sepenuhnya dipegang oleh MUDZAKKIROLOGY dan dilindungi oleh Digital Millennium Copyright Act (DMCA). Tindakan Copy-Paste bisa secara otomatis membuat blog/website Anda TERHAPUS DARI INDEX GOOGLE.
Suka artikel ini? Bagikan : Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg

Artikel Terkait :

1 komentar:

  1. Kami Hadir Untuk Menjalin Tali Silatuh Rahmi,Guna Untuk Membantu Para Masyarakat Di Muka Bumi Ini ,Dengan Segala Permasalahan Yang Ada,Karena Di Dalam Masyarakat Yang Kita Tahu Saat Sekarang Ini,Masih Banyak Masyarakat Yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan,Untuk Itu,Izinkan Saya Mbah Karwo Untuk Memberikan Solusi Terbaik Untuk Anda Yang Sangat Membutuhkan.Ada Berbagai Cara Untuk Membantu Mengatasi Masalah Perekonomian,Dengan Jalan ; 1,Melalui Angka Togel Jitu ; Supranatural 2,Pesugihan Serba Bisa 3,Pesugihan Uang Balik/Bank ghaib 4,Ilmu Pengasihan 5,DLL HANYA DENGAN BERMODALKAN KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN,INSYA ALLAH ITU SEMUANYA AKAN BERHASIL SESUAI DENGAN KEINGINAN ANDA... Dunia yang akan mewujudkan impian anda dalam sekejab dan menuntaskan masalah keuangan anda dalam waktu yang singkat. Mungkin tidak pernah terpikir dalam hidup kita untuk menyentuh hal hal seperti ini. Ketika terpikirkan kekuasaan, uang dalam genggaman, semua bisa dikendalikan sesuai keinginan kita.Semua bisa diselesaikan secara logika.Tapi akankah logika selalu bisa menyelesaikan masalah kita. Pesugihan Mbah Karwo Mbah memiliki ilmu supranatural yang bisa menghasilkan angka angka putaran togel yang sangat mengagumkan, ini sudah di buktikan member bahkan yang sudah merasakan kemenangan(berhasil), baik di indonesia maupun di luar negeri.. ritual khusus di laksanakan di tempat tertentu, hasil ritual bisa menghasilkan angka 2D,3D,4D,5D.6D. sesuai permintaan pasien.Mbah bisa menembus semua jenis putaran togel. baik itu SGP/HK/Malaysia/Sydnei, maupun putaran lainnya. Mbah Akan Membantu Anda Dengan Angka Ghoib Yang Sangat Mengagumkan "Kunci keberhasilan anda adalah harus optimis karena dengan optimis.. angka hasil ritual pasti berhasil !! BERGABUNGLAH DAN RAIH KEMENANGAN ANDA..! Tapi Ingat Kami Hanya Memberikan Angka Ritual Kami Hanya Kepada Anda Yang Benar-benar dengan sangat Membutuhkan Angka Ritual Kami .. Kunci Kami Anda Harus OPTIMIS Angka Bakal Tembus…Hanya dengan Sebuah Optimis Anda bisa Menang…!!! Apakah anda Termasuk dalam Kategori Ini 1. Di Lilit Hutang 2. Selalu kalah Dalam Bermain Togel 3. Barang berharga Anda Sudah Habis Buat Judi Togel 4. Anda Sudah ke mana-mana tapi tidak menghasilkan Solusi yang tepat Jangan Anda Putus Asa…Selama Mentari Masih Bersinar Masih Ada Harapan Untuk Hari Esok.Kami akan membantu anda semua dengan Angka Ritual Kami..Anda Cukup Mengganti Biaya Ritual Angka Nya Saja… Apabila Anda Ingin Mendapatkan Nomor Jitu 2D 3D 4D 6D Dari Mbah Karwo Selama Lima Kali Putaran,Silahkan Bergabung dengan Uang Pendaftaran Paket 2D Sebesar Rp. 300.000 Paket 3D Sebesar Rp. 500.000 Paket 4D Sebesar Rp. 700.000 Paket 6D Sebesar Rp. 1.500.000 dikirim Ke Rekening BRI.Atas Nama:No Rekening PENDAFTARAN MEMBER FORMAT PENDAFTARAN KETIK: Nama Anda#Kota Anda#Kabupaten#Togel SGP/HKG#DLL LALU kirim ke no HP : ( 0852-3162-7267 ) SILAHKAN HUBUNGI EYANG GURU:0852-3162-7267

    BalasHapus

Next Post Previous Post Homepage
 

Copyright © MUDZAKKIROLOGY | reDesigned by Orangbiasaji | Proudly Powered by Blogger