Polemik tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
(RSBI) dua minggu ini cukup menyita perhatian publik. Bahkan salah satu media
nasional menjadikan tema ini sebagai headline,
“Program RSBI Gagal Total” (Rabu, 4 Januari 2012). Program yang telah diimplemetasikan
oleh Pemerintah sejak tahun 2005 ini dinilai gagal atau dianggap belum memenuhi
ekspektasi pembuat kebijakan. Dari evaluasi kemendikbud, program RSBI hingga
awal 2012 belum ada satu pun RSBI yang lolos menjadi Sekolah Berstandar internasional
(SBI). Hal ini disebabkan karena belum
terpenuhinya keberadaan guru RSBI yang berijazah S2 (20 % guru SMA dan 30 %
guru SMK), disamping juga masih minimnya penguasaan bahasa Inggris oleh para
guru di RSBI.
Meskipun demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional, Muhammad Nuh, masih tetap optimis bahwa program RSBI belum berhasil
bukan berarti gagal total karena memang program ini masih dalam proses. Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa ke depan program ini tetap dilaksanakan tentu dengan
peningkatan dan perbaikan yang didasarkan pada evaluasi kemendikbud. Wujud
konkretnya pemerintah tetap akan memberikan subsidi sekolah-sekolah yang
berlabel RSBI serta memberikan pendanaan bagi guru-guru RSBI yang belum
menempuh S2. Pemerintah juga akan menghentikan sementara permohonan usulan RSBI
baru di setiap jenjang pendidikan.
Patut diapresiasi keberanian Kemendikbud dalam merilis
“kegagalan” Program RSBI yang didasarkan pada evaluasi yang dilakukan Badan
Penelitian dan Pengembangan-nya di awal tahun 2012 ini. Jarang sekali sebuah
instansi yang secara jujur mengakui ketidakberhasilan program kerjanya. Tentu
ini menunjukkan sebuah budaya good
governance secara prosedural (akuntabilitas dan transparansi), meskipun
secara subtansial bisa jadi kebijakan yang dibuat bertentangan dengan filosofi
negara (baca; Pancasila dan UUD) bila dikaitkan dengan hak dasar warga negara,
yaitu persamaan hak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap
warga negara.
Kelompok yang tidak sepakat dengan kebijakan RSBI
beragurgmen bahwa program ini bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD,
karena secara sadar Pemerintah telah melakukan diskriminasi pelayanan
pendidikan, mengedepankan nilai-nilai internasionalisme daripada nasionalisme
dan membiarkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Pemerintah juga tak kalah
argumentasi, bahwa program RSBI ini merupakan derivasi dari amanat Pasal 50
ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam aturan tersebut dinyatakan; “Pemerintah
dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan bertaraf internasional”.
Landasan yuridis inilah yang membuat pemerintah (kemendikbud) tetap
percaya diri untuk melanjutkan program RSBI meskipun dianggap gagal dan
mendapatkan kritikan yang tajam dari berbagai kalangan. Kelompok kontra
(Koalisi Pendidikan, ICW, YLBHI, Elsam, LBH Pendidikan, FSGI) kebijakan ini pun
juga tak mau kalah langkah, mereka melayangkan gugatan (judicial review) pada tanggal 28 Desember 2011, terhadap regulasi
tersebut yang dianggap menjadi dasar penyelenggaraan RSBI.
Selain perdebatan dasar hukum yang digunakan, yang lebih
menarik dalam perspektif penulis adalah argumentasi yang berkaitan dengan peningkatan
prestasi siswa dan persaingan global (isasi). Hal ini seperti yang seringkali
disampaikan oleh Mendikbud Muhammad Nuh, bahwa salah satu tujuan
diselenggarakannya RSBI adalah untuk menampung pelajar-pelajar Indonesia yang
berprestasi. Menurutnya diperlukan perlakukan khusus bagi mereka (siswa) yang
mempunyai keunggulan prestasi (tentu yang dimaksud prestasi akademik) agar
mereka dapat berkembang dan mampu bersaing di tingkat global. Maka selain siswa
memiliki nilai mata pelajaran yang memuaskan (dibuktikan dengan nilai Ujian
Akhir Nasional (UAN) tinggi), mereka juga mempunyai penguasaan bahasa Inggris
yang mumpuni. Di lain kesempatan, dalam
waktu yang berbeda baik Muhammad Nuh dan Suyanto (Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah) juga pernah menyampaikan bahwa selain meningkatkankan kualitas pendidikan
untuk bersaing di era global, RSBI diharapkan bisa menghemat pengeluaran devisa
negara. Sebab, RSBI bisa menekan jumlah orang-orang (kelas menengah ke atas)
menyekolahkan anaknya ke luar negeri.
Sadar atau tidak argumentasi yang dikemukan oleh
pemerintah menunjukkan standpoint
dalam wacana globalisasi. Pemerintah menerima “globalisasi” sebagai diskursus
yang nyata dan bahkan kalau perlu mengimplementasikan globalis(me)asi pra-syarat untuk maju. Kalau dalam persoalan
ekonomi politik pemerintah kita sudah menganut doktrin globalisasi (yang
diboncengi neoliberalisme), pelan tapi pasti kebijakan di sektor pendidikan
juga akan atau bahkan telah menganut paradigma (neo)liberal. Ambil contoh kasus
UU Sisdiknas, bagaimana tanggung jawab pemerintah (baca; Negara) dalam
pembiayaan pendidikan dikurangi, atas dalih mengajak partisipasi masyarakat
agar lebih merasa memiliki. Justru sebaliknya, hal ini membawa konsekuensi pada
terjadinya privatisasi dan komodifikasi di kalangan masyarakat.
Belum lagi ditambah dengan kebijakan Badan Hukum
Pendidikan (BHMN) yang mempunyai spirit
menjadikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi seperti mengelola Perusahaan,
meskipun masih menerima subsidi dari negara PTN diharapkan juga bisa mencari
pemasukan dari Mahasiswa. Liberalisasi dan Komodifikasi pendidikan pun menjadi
fenomena yang wajar. Meskipun BHMN telah dibatalkan oleh MK, tapi dalam
prakteknya spirit BHMN masih berjalan di berbagai PTN ternama di Indonesia. Biaya
mengeyam pendidikan tinggi pun semakin mahal, tentu yang berduitlah yang bisa
mengaksesnya. Para calon mahasiswa dari kelas menengah ke bawah, dengan
kekuatan finansial yang pas-pasan, tentu berpikir empat kali untuk
menyekolahkan anak mereka. Meskipun mereka bisa kuliah, mereka hanya mampu
masuk pada program studi yang tidak
membutuhkan biaya mahal dan tidak populer dari segi pangsa kerja. Kalau pun ada
beasiswa, itu pun hanya bagi yang betul-betul berprestasi dari keluarga miskin,
dan bisa dipastikan jumlahnya relatif sedikit sekali.
Kembali soal RSBI, kemunculan pun tidak bisa lepas dari
diskursus persaingan bebas di era globalisasi. Pemerintah dengan dasar UU
Sisdiknas mempunyai kewajiban untuk membentuk SBI (Sekolah Berstandar
Internasional) yang sebelumnya dimulai dengan pembetukan RSBI. Dana khusus pun
diberikan dalam rangka mengenjot program ini, untuk SD yang berlabel RSBI
diberikan subsidi 500 juta/tahun, SMP subsidi 400 juta/tahun, SMA subsidi 600
juta/tahun dan SMK 950 juta/tahun. Belum
lagi ditambah dengan beasiswa bagi guru yang mengajar di sekolah yang ber-label
RSBI. Tentu sekolah yang berlabel RSBI adalah sekolah yang memang sudah cukup
dan memang berkualitas di daerah masing-masing yang didukung dengan SDM dan
finansial mencukupi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana nasib sekolah yang
dianggap tidak favorit, pinggiran atau bahkan di daerah terpencil?
Tentu nasib mereka semakin mengenaskan, karena tidak
menjadi perhatian utama atau prioritas kebijakan pemerintah. Padahal merekalah
yang sebenarnya juga tak kalah untuk diperhatikan. Fakta yang lebih menyakitkan
lagi adalah meskipun anggaran pendidikan sudah ditambah ternyata banyak
infrastruktur sekolah (yang dianggap pinggiran dan kurang berprestasi) baik di
kota, desa dan daerah pinggiran cukup memprihatinkan. Kasus sekolah seperti
kandang ayam, sekolah roboh, dan sekolah tidak mempunyai guru yang mencukupi
sudah jamak kita dengar. Belum lagi ditambah dengan kasus bocornya anggaran
pendidikan di berbagai daerah akibat perilaku korup birokrasi.
Kalau dilihat dari perspektif kritis, RSBI jelas
diperuntukan bagi masyarakat kelas menengah atas. Argumentasi bahwa RSBI
dimaksudkan untuk menampung siswa yang berprestasi dan alasan menghemat devisa
negara, karena meminimalisir orang-orang kaya menyekolahkan anak mereka ke luar
negeri, jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok menengah
atas. Dan memang secara faktual, siswa yang masuk ke RSBI adalah mereka yang
berasal dari “kasta sosial” menengah atas. Tidak ada argumentasi khusus pemerintah
tentang RSBI yang dikaitkan dengan kepentingan kelompok mayoritas masyarakat
yang tidak beruntung. Padahal pemerataan kualitas pendidikan bagi kelas sosial
yang tidak beruntung inilah yang seharusnya diutamakan.
Sebagai program (sekolah/kelas) internasional RSBI tentu
membutuhkan pendanaan yang juga “bertarif internasional” untuk mengembangkan
kualitas suprastruktur, struktur dan
infrastruktur pendidikan. Meskipun pemerintah memberikan subsidi di
masing-masing jenjang pendidikan, masih saja banyak ditemui sekolah yang ber-“merk” RSBI memungut tambahan biaya. Seakan-akan dengan label RSBI
sekolah mendapatkan legitimasi untuk menarik biaya kepada siswa, dan bagi
sekolah yang nakal menjadikan media menambah pemasukan tambahan. Bagi orang tua
(kaya) yang terobsesi agar anaknya bisa menyandang siswa berkelas
“internasional” tentu dana bukan halangan. Kalau perlu, meskipun sebenarnya
anaknya tidak terseleksi masuk sekolah/kelas internasional, mereka akan
berusaha merayu atau bahkan menyuap pihak sekolah demi social prestige.
Meskipun belum ada penelitian secara resmi tentang kelas
sosial siswa yang masuk di RSBI, tetapi saya berasumsi bahwa “mayoritas”
berasal dari kelas sosial menengah atas. Ada beberapa argumentasi yang perlu
dibuktikan; pertama; siswa yang siap
masuk RSBI adalah mereka anak-anak yang secara asupan gizi tercukupi atau
bahkan lebih, sehingga mempengaruhi kesehatan dan kecerdasan anak secara biologis.
Kedua; anak-anak secara akademik
cukup baik, khusus-nya dalam mata pelajaran matematika, IPA, dan bahasa
Inggris. Untuk menguasai mata pelajaran ini biasanya orang tua memberikan les
tambahan atau kalau perlu les privat untuk menguasai mata pelajaran yang
menjadi syarat utama masuk kelas Internasional. Ketiga, diperlukan tambahan dana khusus untuk mengikuti kelas
internasional; mulai dari buku billingual,
laptop, ujian internasional dan kebutuhan lainnya yang berbeda dengan
sekolah/kelas reguler. Ketiga, budaya
sekolah/kelas. Bagi siswa RSBI; misalnya siswa SMA 5 Surabaya, mereka seperti
pindah kelas dari sekolah elit/favorit sebelumnya yang juga berlabel RSBI, yang
juga mayoritas berasal dari kelas menengah atas, mereka akan sangat mudah
menyesuaikan budaya belajar dengan sekolah/kelas internasional. Meskipun ada
siswa dari kelas menengah bawah yang berprestasi jumlahnya relatif kecil yang
bisa masuk RSBI. Kalau pun mereka bisa masuk ke kelas internasional, mereka
akan mengalami shock culture ketika berinteraksi
dengan teman-teman mereka yang berasal dari kelas menengah atas dengan life style yang berbeda.
Siswa-siswa alumni RSBI (nantinya SBI) akan dengan mudah
masuk PTN favorit atau bahkan Perguruan Tinggi luar negeri. Dengan label
alumnus SBI tentu sangat mudah bagi mereka mengikuti pelajaran di perguruan
tinggi. Di kampus-kampus ternama itulah mereka memperkuat modal budaya, sosial
dan simbolik mereka baik bergabung dengan organisasi intra kampus, organisasi
ekstra, atau pun profesi, sehingga ketika mereka lulus kampus mereka sudah
sangat siap untuk bersaing di dunia nyata. Dengan ilmu, skill dan jaringan yang mereka miliki tentu sangat gampang kalau
hanya sekedar untuk bekerja atau membangun bisnis. Hal itu pun akan dilakukan
oleh anak-anak mereka, sehingga ketika anak mereka masuk sekolah/perguruan
tinggi favorit, sebenarnya mereka hanya menjaga tradisi keluarga (kelas
menengah atas). Dan kalau pun mereka berprestasi, itu merupakan suatu hal yang
wajar, dan bukan hal yang luar biasa karena mereka telah memiliki prasyarat
untuk meraihnya. Kondisi ini akan sangat berbeda apabila terjadi pada anak
kelas menengah bawah, mereka bukan menjaga tradisi tapi melakukan “perjuangan kelas” atau “mobilitas vertikal”.
Akhirnya, berangkat dari realitas RSBI dapat dilihat
bahwa pendidikan kita masih belum mampu mem-produksi
sistem sosial baru. Tapi sebaliknya, hanya mampu me-reproduksi sistem sosial status
quo. Sehingga pendidikan belum mampu menjadi kekuatan untuk melakukan
transformasi sosial, tapi hanya melegitimasi sistem sosial yang dominan. Dalam
kasus ini, RSBI bisa dianggap berperan aktif dalam memproduksi dan merepoduksi
kesenjangan sosial.**
[1] Dosen pada Prodi Sosiologi Unesa, meminati kajian Sosiologi
Pendidikan, Pendidikan Kritis, dan Cultural
Studies.
Kami Hadir Untuk Menjalin Tali Silatuh Rahmi,Guna Untuk Membantu Para Masyarakat Di Muka Bumi Ini ,Dengan Segala Permasalahan Yang Ada,Karena Di Dalam Masyarakat Yang Kita Tahu Saat Sekarang Ini,Masih Banyak Masyarakat Yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan,Untuk Itu,Izinkan Saya Mbah Karwo Untuk Memberikan Solusi Terbaik Untuk Anda Yang Sangat Membutuhkan.Ada Berbagai Cara Untuk Membantu Mengatasi Masalah Perekonomian,Dengan Jalan ; 1,Melalui Angka Togel Jitu ; Supranatural 2,Pesugihan Serba Bisa 3,Pesugihan Uang Balik/Bank ghaib 4,Ilmu Pengasihan 5,DLL HANYA DENGAN BERMODALKAN KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN,INSYA ALLAH ITU SEMUANYA AKAN BERHASIL SESUAI DENGAN KEINGINAN ANDA... Dunia yang akan mewujudkan impian anda dalam sekejab dan menuntaskan masalah keuangan anda dalam waktu yang singkat. Mungkin tidak pernah terpikir dalam hidup kita untuk menyentuh hal hal seperti ini. Ketika terpikirkan kekuasaan, uang dalam genggaman, semua bisa dikendalikan sesuai keinginan kita.Semua bisa diselesaikan secara logika.Tapi akankah logika selalu bisa menyelesaikan masalah kita. Pesugihan Mbah Karwo Mbah memiliki ilmu supranatural yang bisa menghasilkan angka angka putaran togel yang sangat mengagumkan, ini sudah di buktikan member bahkan yang sudah merasakan kemenangan(berhasil), baik di indonesia maupun di luar negeri.. ritual khusus di laksanakan di tempat tertentu, hasil ritual bisa menghasilkan angka 2D,3D,4D,5D.6D. sesuai permintaan pasien.Mbah bisa menembus semua jenis putaran togel. baik itu SGP/HK/Malaysia/Sydnei, maupun putaran lainnya. Mbah Akan Membantu Anda Dengan Angka Ghoib Yang Sangat Mengagumkan "Kunci keberhasilan anda adalah harus optimis karena dengan optimis.. angka hasil ritual pasti berhasil !! BERGABUNGLAH DAN RAIH KEMENANGAN ANDA..! Tapi Ingat Kami Hanya Memberikan Angka Ritual Kami Hanya Kepada Anda Yang Benar-benar dengan sangat Membutuhkan Angka Ritual Kami .. Kunci Kami Anda Harus OPTIMIS Angka Bakal Tembus…Hanya dengan Sebuah Optimis Anda bisa Menang…!!! Apakah anda Termasuk dalam Kategori Ini 1. Di Lilit Hutang 2. Selalu kalah Dalam Bermain Togel 3. Barang berharga Anda Sudah Habis Buat Judi Togel 4. Anda Sudah ke mana-mana tapi tidak menghasilkan Solusi yang tepat Jangan Anda Putus Asa…Selama Mentari Masih Bersinar Masih Ada Harapan Untuk Hari Esok.Kami akan membantu anda semua dengan Angka Ritual Kami..Anda Cukup Mengganti Biaya Ritual Angka Nya Saja… Apabila Anda Ingin Mendapatkan Nomor Jitu 2D 3D 4D 6D Dari Mbah Karwo Selama Lima Kali Putaran,Silahkan Bergabung dengan Uang Pendaftaran Paket 2D Sebesar Rp. 300.000 Paket 3D Sebesar Rp. 500.000 Paket 4D Sebesar Rp. 700.000 Paket 6D Sebesar Rp. 1.500.000 dikirim Ke Rekening BRI.Atas Nama:No Rekening PENDAFTARAN MEMBER FORMAT PENDAFTARAN KETIK: Nama Anda#Kota Anda#Kabupaten#Togel SGP/HKG#DLL LALU kirim ke no HP : ( 0852-3162-7267 ) SILAHKAN HUBUNGI EYANG GURU:0852-3162-7267
BalasHapus