Senin, 10 Februari 2014

Selebriti dan Pilkada*

2 komentar
Oleh Moh. Mudzakkir**

     Anies Baswedan dalam salah satu artikelnya di media nasional (31 Oktober 2006) mengatakan bahwa dalam 100 tahun sejarah politik Indonesia mengalami transformasi ruling elite. Ia mencoba melihat berdasarkan perekrutan kaum muda dan tren utama yang mendominasi kehidupan berbangsa. Dengan menggunakan perspektif historical comparative, Anies melihat perubahan pembentukan elit terjadi dalam tiga pola, dari kepemimpinan elit intelektual pada masa era awal kemerdekaan hingga orde lama, elit militer pada masa orde baru (Soeharto), kemudian berubah di era reformasi (saat ini) beralih ke elit yang berasal dari para mantan aktivis gerakan mahasiswa.
     Berdasarkan tren utama dunia dan  bangsa Indonesia saat ini, maka bidang ekonomi atau pasar sangat mempengaruhi seluruh bidang kehidupan lainnya, tidak terkecuali bidang politik. Dalam waktu satu-dua dekade ke depan kemungkinan yang berpeluang menjadi ruling elite Indonesia adalah mereka yang berkiprah di dunia ekonomi, bisnis atau pasar. Ruling elite yang dimaksud di sini adalah sekelompok elite, di antara kaum elite-elite yang lain, yang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara. Tesis Anies mungkin ada benarnya bila kita melihat semakin banyak para pengusaha yang masuk ke panggung politik, mulai dari level pusat hingga kabupaten. Mereka bukan hanya menjadi anggota legislatif tapi juga ada yang telah berhasil menduduki jabatan eksekutif baik itu di tingkat kabupaten/kota atau Gubernur.
     Meskipun demikian, bila dikaitkan dengan kasus Pilkada Jawa Barat yang akan datang, tentu tesis Anies Baswedan perlu ditinjau kembali kebenarannya. Pembacaan politik terhadap masyarakat dalam konteks kultural oleh Anies agak dinafikan. Seakan-akan dengan kemampuan finansial dan pengalaman manajerial ketika memimpin usaha dianggap memadai untuk merebut kepemimpinan politik. Ia lupa, bahwa modal budaya dan modal simbolik ternyata mempunyai nilai tawar yang tinggi era postmodernitas yang seperti saat ini. Era di mana gerak sejarah manusia bukan lagi secara deterministik ditentukan oleh basis material (ekonomi) tapi juga adanya kontestasi dengan ranah (field) kehidupan lainnya yang saling bergantian mendominasi kehidupan manusia, salah satunya adalah bidang budaya.
     Cara pandang determinisme ekonomi dianggap sudah tidak lagi mumpuni untuk menjelaskan realitas kehidupan manusia yang semakin kompleks. Kritik terhadap cara pandang reduksionisme ini sudah banyak dilakukan oleh para teoritisi sosial budaya kontemporer. Mungkin benar kehidupan kita saat ini sangat dipengaruhi oleh logika market yang hampir mempengaruhi segala aspek kehidupan, tidak terkecuali bidang politik. Namun kalau kita cermati, bentuk kapitalisme saat ini bukanlah kapitalisme yang bertujuan memproduksi “barang” dan “untuk memenuhi kebutuhan” manusia, tapi kapitalisme mutakhir yang memproduksi “tanda” dan “untuk memenuhi hasrat keinginan”. “Tanda” menjadi sesuatu yang sangat berharga, bahkan masyarakat rela untuk membelinya dengan mahal.  Dan itulah yang saat ini menggerakan roda kapitalisme mutakhir.
   Selebriti sebagai status sosial muncul dari rahim kapitalisme yang digerakkan oleh media yang memproduksi tanda, termasuk tanda “selebriti” itu sendiri. Dengan identitas selebriti yang dimiliki, sesorang bisa menjadi magnet pemberitaan media massa. Bukan hanya pemberitaan yang terkait dengan pekerjaan mereka sebagai penyanyi, aktor/aktris, bintang iklan, tapi juga terkait dengan urusan pribadi mereka. Bahkan berbagai stasiun TV berlomba-lomba membuat program (informasi dan entertainment disingkat infotainment) yang secara khusus memberitakan dinamika kehidupan “para pesohor tersebut”.  Saking seringnya para selebriti tersebut diberitakan oleh media, maka semakin populer-lah nama mereka di tengah-tengah masyarakat. Ditambah mereka juga mempunyai kelompok fans fanantik dengan berbagai macam komunitas yang dibentuk dalam rangka mengikuti  perkembangan info kegiatan, fashion, hingga gaya hidup (lifestyle) idola mereka. Bila dikaitkan dengan politik, maka para selebriti telah mempunyai modal popularitas. Meskipun modal tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas bila mereka terjun ke dunia politik.
     Dalam kontestasi Pilkada Jabar modal ekonomi bukanlah faktor determinan. Hal ini terlihat dari para kandidat yang maju bukanlah orang yang berangkat dari dunia pasar, ekonomi atau bisnis, tapi dari dunia politik, budaya, dan aktivisme sosial. Berdasarkan informasi dari berbagai pemberitaan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang akan maju dalam Pilkada Jawa Barat dalah; pasangan Dede Yusuf-Lex Laksamana (PD, PAN), Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar (PKS, PPP Hanura, PBB), Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki (PDIP, serta pasangan Yence-Tatang (Golkar).
     Dari beberapa pasangan di atas, ada tiga pasangan yang salah satu tandemnya (calon gubernur atau wakil) berasal dari latar belakang selebriti. Tiga orang tersebut adalah, pertama; Dede Yusuf mantan aktor laga yang sebelumnya adalah petahana (incumbent) wakil gubernur dan  sekarang mencalonkan diri sebagai calon gubernur. Kedua, Dedy Mizwar yang sebelumnya dikenal sebagai aktor  kawakan sekaligus sutradara juga maju digandeng oleh Ahmad Heryawan, gubernur petahana (incumbent) sebagai calon wakil gubernur yang diusung oleh partai utama PKS. Dan Ketiga, Rieke Diah Pitaloka, seorang artis yang melabung namanya berkat komedi situasi, juga maju sebagai calon gubernur berpasangan dengan Teten Masduki (aktivis pegiat anti korupsi) yang juga tak kalah populernya di kalangan media.
     Kalau saja Nurul Arifin, mantan aktris, juga bersedia maju menjadi calon gubernur dan wakil gubernur dari partai beringin, tentu Pilkada Jawa Barat akan jauh lebih semarak dibanding dengan berbagai pilkada yang pernah ada di seluruh Indonesia. Tapi sayang, di tengah perjalanan Nurul Arifin tidak bersedia dengan berbagai alasan yang tidak disampaikan kepada publik. Akhirnya Partai Golkar mengusung pasangan yang bukan dari pesohor layaknya ketiga pasangan yang sudah saya sebutkan di atas. Tentu ini merupakan langkah yang cukup berani bagi Partai yang berkuasa di era orde baru ini, bila dihadapkan dengan ketiga pasangan lainnya yang berasal dari kalangan selebriti.
     Sebelum Pilkada Jabar sudah banyak para pesohor terlibat dalam kontestasi Pilkada tingkat provinsi, seperti Marisa Haque dan Rano Karno di Pilkada Banten, dan Helmi Yahya di Sumatera Selatan. Marisa Haque dan Helmi Yahya kalah, sedangkan Rano Karno yang digandeng Gubernur petahana (incumbent) Banten Ratu Atut Chosiyah mendapatkan kemenangan. Bintang sinetron Zumi Zola memperoleh kemenangan dalam pilkada dan kemudian menjadi Bupati di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. Rano Karno, si Doel, sebelum menjadi wakil Gubernur juga pernah menjadi wakil Bupati di Tanggerang. Dicky Candra mantan aktor sinetron, meskipun mengundurkan diri karena pecah kongsi dengan Bupati, juga pernah menjadi wakil gubernur di Garut Jawa Barat. Dan yang terakhir, Primus Yustisio, pernah maju dan  gagal dalam pilkada di Subang pada  tahun 2008. Meskipun demikian pemeran utama sinetron “Panji Manusia Milineum” ini, telah mendeklarasikan diri akan maju kembali menjadi calon bupati Subang tahun 2013 mendatang dari PAN.
     Kemunculan selebriti yang maju dalam berbagai pilkada tentu merupakan fenomena baru dalam dua dekade terakhir ini. Berangkat dari data yang ada, Jawa Barat adalah provinsi yang memiliki kandidat terbanyak calon gubernur-wakil gubernur serta bupati-wakil bupati yang berasal dari kalangan selebriti dibanding dengan daerah lain. Keberhasilan Ahmad Heryawan-Dedy Yusuf dalam Pilkada Jabar pada 2008 lalu seakan-akan dijadikan pelajaran oleh partai-partai politik. Bahwa mengusung selebriti ternyata mampu mendongkrang suara bahkan meraih kemenangan dalam pilkada tersebut.
     Setelah Dede Yusuf memutuskan untuk maju sendiri dalam Pilkada Jabar 2013 melalui PD dan PAN,  Ahmad Heryawan (PKS dan partai pendukung) segera mencari pasangan dari kalangan selebriti (Dedy Mizwar) yang tidak kalah popularitas dan senioritas-nya dibandingkan dengan tandem sebelumnya. PDIP pun juga tidak mau ketinggalan, sadar bahwa para pesaing mereka memajukan calon pasangan yang berasal dari “pesohor”, maka Rieke Diah Pitaloka, artis yang meroket namanya melalui peran Oneng, pun diajukan oleh partai banteng moncong putih sebagai calon gubernur. Ia mengandeng Teten Masduki, seorang aktivis anti korupsi yang cukup popular sekaligus pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW), sebagai calon wakil gubernur. Golkar tidak mau ikut-ikutan, dan justru lebih percaya terhadap kader partai yang bukan berasal dari kalangan selebriti.
     Pilkada Jawa Barat kali ini bukan hanya menawarkan persaingan politik yang cukup panas dan sengit, tapi juga tontonan dan hiburan yang menarik perhatian publik. Mungkin faktor utama yang menggerakkannya adalah banyaknya selebriti yang menjadi calon dari ketiga pasangan kandidat tersebut. Bisa jadi peristiwa pilkada ini tidak dilihat sebagai kontestasi politik saja, tapi justru sebagai semacam konser, panggung hiburan atau bahkan forum pertemuan antara idol  dengan para penggemar mereka. Pilkada akan menjadi tontonan yang menarik, layaknya mereka kembali menyaksikan akting Dedy Mizwar dalam film “Naga Bonar”, “Naga Bonar jadi 2”, atau Sinetron “Para Pencari Tuhan”. Perhelatan ini juga mengingatkan kembali masyarakat kepada sosok Dedy Yusuf  dalam sinetron berseri “Jendela Rumah Kita” dan film “Catatan Si Boy” serta kekonyolan yang menghibur yang ditunjukkan oleh Oneng (Rieke Diah Pitaloka) dalam komedi situasi “Bajai Bajuri”.
     Pengamat dan Peneliti Popular Culture  dari LIPI, Wahyudi Akmaliah memandang bahwa pertarungan antar para kandidat dalam Pilkada Jabar bukan hanya dalam soal menwarkan visi dan misi politik, tapi juga dalam pertarungan pencitraan sebagai “selebriti iklan”. Rakyat Jawa Barat mungkin akan lebih mengenal Dede Yusuf sebagai bintang iklan “Bodrex”, Dedy Mizwar sebagai bintang iklan “Promag”, “Sosis So Nice”, atau “Enzim”, atau Rieke Diah Pitaloka dengan “Kuku Bima TL”-nya. Pasangan mana yang akan mendapatkan simpati dan suara tergantung tawaran “resep” konkret apa yang mereka ajukan kepada para konstituen. Guyonannya, bila rakyat Jabar mengindap “sakit kepala” maka Dedy Yusuf akan banyak dipilih karena menawarkan obat sakit kepala “Bodrex”. Dedy Mizwar akan mendapatkan simpati dan dukungan bila banyak masyarakat “sakit maag” karena memberi ”promag”. Selanjutnya, Rieke Diah Pitaloka dipilih karena rakyat membutuhkan suplemen “Kuku Bima TL” agar masyarakat tetap “roso” (kuat bertenaga).
     Rakyat Jabar bisa jadi akan memilih para pasangan kandidat bukan didasarkan pada cara berfikir politik, hubungan antara pemimpin dan warga yang memberikan mandat politik untuk memperjuangan hak-hak mereka sebagai warga negara. Tapi bisa jadi mereka akan menggunakan hak suara mereka lebih didasarkan pada pertimbangan relasi Idols-fans yang fanatis dan histeris. Kalau hal tersebut terjadi, maka itu menunjukkan masyarakat kita sudah sangat terhegemoni oleh budaya popular yang disebarkan oleh media massa.
     Tidak ada yang melarang para selebriti menggunakan hak konstitusional mereka untuk menjadi pemimpin. Banyak pihak yang mengkritik atau bahkan mencemooh partai politik yang mengajukan kandidat dalam pilkada dari kalangan selebriti. Parpol dianggap gagal melakukan kaderisasi internal serta cenderung memilih jalan pintas untuk berkuasa dengan mengandalkan popularitas selebriti. Bisa jadi mamang itulah fakta partai politik saat ini. Meskipun demikian, kita juga harus melihat secara objektif bahwa tidak semua selebriti mengandalkan popularitas an sich. Tapi juga ada beberapa yang memang secara kapabilitas dan integritas layak untuk diberi kesempatan memimpin, sama dengan kelompok sosial lainnya. Jadi bukan hanya mereka yang berasal dari kalangan aktivis, militer, aktivis mahasiswa, dan pengusaha yang bisa menjadi ruling elite, selebriti pun juga bisa. Mungkin saja, kita lihat saja nanti.

*pernah dimuat di Koran Editor dengan judul Selebriti dalam Pilkada Jabar, 27 November 2012.
**Penulis adalah Dosen Sosiologi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial 
    Universitas`Negeri Surabaya (Unesa).
   
Selengkapnya »

Gelandangan Di Kampung Sendiri*

1 komentar
Oleh Moh. Mudzakkir
      Teh poci, mendoan, dan kacang kering menemani  obrolan kami pada malam minggu itu. Suasana dingin setelah hujan deras mengguyur bumi seakan tidak terasa lagi. Apalagi setelah menyeruput teh poci panas sambil melahap mendoan hangat seakan dingin malam sirna. Kami duduk lesehan saling berhadap-hadapan ngobrol santai, tapi terkadang topik yang dibicarakan juga tidak kalah serius dengan obrolan para wakil rakyat di senayan (baca; DPR). Sebagai warga negara, saya dan teman-teman yang sedang asyik nongkrong pun punya hak yang sama untuk ikut memikirkan nasib bangsa dan negeri ini.
     Obrolan santai di lesehan teh poci itu dimulai dengan komentar Musthafa, seorang dosen muda Universitas Mulawarman. Dia berbadan subur, berjenggot agak tebal dengan panjang sedang, suara halus dan mendayu-dayu. Sekilas ketika melihatnya orang pasti mengira dia duplikatnya Rhoma Irama, sang raja dangdut. Malam itu ia merasa gelisah, dan mengutarakan pikirannya. Mengapa negara ini hanya baru bisa menjadi negara konsumen dan jauh tertinggal dengan negara-negara lainnya dalam pembangunan ekonomi. Sebenarnya apa yang salah dari negeri kini? Mengapa para pemimpinnya tidak mampu atau mau membuat terobosan? Atau jangan-jangan mereka diuntungkan dengan kondisi status quo seperti ini?
     Ia mencontohkan tentang kebangkitan ekonomi Cina seperti kita saksikan saat ini. Produk-produk teknologi Cina menyerbu pasaran dunia, tak terkecuali Indonesia. Berangkat dari menduplikasi produk-produk elektronik buatan Jepang, Korea Selatan, AS, dan negara-negara Eropa,  akhirnya  mereka mampu memproduksi sendiri. Bukan hanya sekedar duplikasi, mereka kemudian juga melakukan inovasi-inovasi terhadap produk elektronik tersebut. Sehingga, barang elektronik  Cina yang dahulu berkualitas rendah, sekarang menjadi barang yang berkualitas sedang atau bahkan sama baiknya dengan produk berkualitas lainnya dengan harga lebih murah. Akhirnya produk-produk Cina tersebut mampu menguasai pasaran dunia.
     Pemerintah Cina juga serius untuk mendorong industri dalam negeri bersaing dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Di samping itu mereka juga tidak serta merta melepas kontrol persaingan usaha kepada mekanisme pasar. Apabila ada sebuah produk ekonomi dirasakan belum layak berkompetisi secara bebas, maka pemerintah memberikan proteksi secara proporsional. Tapi ketika telah siap dan layak bersaing dengan produk luar negeri, maka proteksi tersebut di lepas. Akhirnya saat ini, pelan-pelan tapi pasti kekuatan ekonomi Cina mendominasi dunia.
     Bagaimana dengan Indonesia? “Pemerintah Indonesia tidak serius dan tidak konsisten dalam membuat terobosan ekonomi”, sahut Budiman Chandra, seorang dosen Politeknik Manufaktur Bandung, teman saya yang pada malam itu juga ikut menyeruput teh poci sambil berdiskusi. Wajahnya terlihat lebih muda dari pada umur aslinya. Mata sipit dengan kulit kuning langsat bersih, berpakaian rapi dengan kaos dimasukan ke dalam celana panjang. Ia terlihat menonjol dan berbeda dibandingkan teman-teman lainnya.
     Pria berkacama mata ini pernah ditugaskan oleh kampusnya magang sambil belajar hampir setahun di Swiss untuk mempelajari industri manufaktur di negeri arloji tersebut. Sehingga dia banyak mengetahui tentang budaya kerja dan dunia industri teknologi di Swiss. Selama diklat prajabatan saya sering bertukar pikiran dengan Budiman tentang berbagai hal, mulai persoalan kehidupan akademik kampus, politik, dunia internasional hingga yang terakhir soal masyarakat Budha di Indonesia. Sebuah perjumpaan yang mencerahkan.  Berdiskusi  dengan Budiman, mengingatkan saya kepada sosok Kwik Kian Gie, seorang sosok nasionalis tulen yang gelisah melihat ketidakmandirian ekonomi negeri ini.
     Menurut Budiman, ketidakseriusan dan ketidakkonsisten ini bisa diperhatian dari  ketidakmampuan pemimpin kita membuat prioritas pembangunan industri teknologi. Kalau mau serius dan konsisten sebenarnya Indonesia mampu. Bukti konkretnya adalah bahwa untuk memproduksi teknologi pesawat terbang dan persenjataan berat saja kita mampu, kenapa untuk produk teknologi seperti komputer dan perangkatnya, sepeda motor, dan mobil masak kita tidak mampu.
     Bukankah kita mempunyai banyak ahli teknologi berbagai bidang di banyak Perguruan Tinggi ternama di negeri ini? Ambil contoh saja dari ITB, UI, UGM, ITS dan lain sebagainya. Belum lagi para ahli tersebut juga berasal dari universitas-universitas ternama di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Mengapa pemerintah kita mau mensinergikan dunia kampus dengan industri teknologi untuk membangun produk teknologi yang berdaya saing di kancah ekonomi regional maupun global? Entahlah, yang tahu jawaban ini adalah mereka yang duduk di kekuasaan, baik itu rezim kekuasaan politik maupun rezim ilmu pengetahuan yang berada di Perguruan Tinggi. Seakan-akan bangsa kita tidak mempunyai visi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang futuristik. Yang ada hanyalah adalah visi yang myiopic (rabun jauh) di tengah kegaduhan politik pragmatik.
     Seharusnya kita tidak usah malu belajar dari negara-negara yang sedang bergerak maju, seperti Cina dan India. Kedua negara ini mampu menemukan karakter mereka masing-masing di tengah perubahan besar (great transformation) dunia. Cina dengan semangat konfusionisme dan komunisme mampu berdialektika dengan kapitalisme kontemporer. Sehingga ketika membaca Cina kita tidak bisa hanya melihat Cina sebagai sebuah entitas bangsa yang berideologi komunisme atau komunisme an sich. Tapi Cina modern saat ini adalah sintesis antara nilai-nilai konfusionisme, komunisme dan kapitalisme mutakhir (Advanced Capitalism).
     Swadhesi (kemandirian) menjadi kunci kebangkitan ekonomi India kontemporer. Semangat swadhesi yang pernah didengungkan oleh Bapak bangsa India, Mahatma Gandhi, menjadi pendorong kepercayaan diri  untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan potensi sumber daya manusia yang cukup besar, pelan-pelan tapi pasti India telah manjadi negara penghasil software IT  ternama di dunia. Mobil murah Tata juga mulai membanjiri dunia sebagai saingan mobil-mobil produksi Jepang dan Korea Selatan. Bahkan motor bajaj telah banyak diminati oleh masyarakat Indonesia, sebagai alternatif dominasi motor Jepang di Indonesia. Kunci kebangkitan India adalah, kepercayaan diri dan kebanggaan terhadap produk teknologi yang mereka hasilkan.
     Tidak terasa teh yang berada di dalam cangkir yang terbuat dari tanah liat mulai mengering. Teh yang berada di dalam teko juga sudah tidak tersisa. Tiga piring mendoan yang disajikan sudah ludes. Teman-teman begitu menikmati makanan khas Banyumas tersebut hingga tidak rela kalau menyisakan, meskipun hanya satu buah mendoan. Kulit kacang kering berserakan di atas meja tempat kami ngobrol. Jam sudah menunjukkan sepuluh kurang lima belas menit, maka saya dan teman-teman sepakat mengakhiri kongkow-kongkow malam itu. Setelah membayar kepada pemilik warung lesehan, kami pun berjalan menuju penginapan secara bergerombol sambil bicara ringan dan sesekali bercanda dan tertawa.
     Diskusi kecil bersama Musthafa dan Budiman di lesehan teh poci malam itu masih terus terngiang-ngiang dalam pikiranku. Sebagai anak bangsa, tentu saya juga mempunyai keprihatinan yang sama dengan mereka berdua. Prihatin terhadap nasib bangsa Indonesia yang masih berputar-putar di tempat dalam pengembangan IPTEK dan industri teknologi. Akhirnya saya teringat ungkapan Emha Ainun Najib, seorang penulis dan budayawan, bahwa kita akan menjadi “gelandangan di kampung sendiri” apabila tidak mampu berkompetisi di era runaway world (dunia tunggal langgang) seperti sekarang ini. Maka, marilah selamatkan generasi muda  bangsa agar tidak menjadi “gelandangan di negeri sendiri”!!!
* Pernah dimuat di Note Facebook penulis  pada 23 Oktober  2011.
Selengkapnya »

Orang Blora Di Panggung Sejarah Indonesia

3 komentar


Oleh Moh. Mudzakkir

 Akhir minggu lalu saya berkesempatan untuk pulang kampung di desa Mojorembun, kecamatan Menden, Kabupaten Blora. Suatu daerah yang berada di provinsi  Jawa Tengah yang berbatasan secara langsung dengan kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Tepatnya berada di arah timur laut Jawa Tengah, posisinya di bawah kabupaten Rembang kalau dilihat di peta.
Selengkapnya »

Kamis, 06 Februari 2014

Beasiswa Presiden dan Universitas Terbaik

0 komentar
Oleh Moh. Mudzakkir
Dosen Sosiologi Pendidikan dan peminat Higher Education Studies
di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya (UNESA)


Satu bulan yang lalu (Jum’at 03/01/2014) Menteri Pendidikan dan kebudayaan Indonesia, Muhammad Nuh menyampaikan rencana pemberian beasiswa bagi warga negara Indonesia yang diterima di 50 universitas terbaik dunia. Beasiswa tersebut akan diberi nama Presidential Scholarship (Beasiswa Presiden) dan Governmental Scholarship (beasiswa Pemerintah), sebagai bentuk apresiasi dan sekaligus juga sebagai upaya membangkitkan kebanggaan anak-anak Indonesia yang berprestasi. Lebih lanjut, Nuh juga mengungkapkan karena beasiswa ini mempunyai prestige (bisa diterima di kampus kelas dunia), maka jumlah besarannya akan lebih banyak dibanding beasiswa lainnya. Anggaran beasiswa tersebut akan membutuhkan dana sebesar Rp. 16,6 triliun. Program beasiswa ini diberikan sebagai bagian usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar mampu bersaing di dunia internasional, khususnya di bidang pendidikan tinggi.

Rencana program beasiswa presiden belum banyak mendapatkan respon kritis dari publik, terutama di kalangan pengamat pendidikan dan akademisi di Perguruan Tinggi Indonesia. Mungkin karena wacana ini tertutupi oleh hiruk pikuk persiapan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Padahal dalam pandangan penulis, rencana program dengan dana yang sangat besar ini seharusnya bisa dijadikan pintu masuk untuk memperdebatkan tentang arah reformasi Pendidikan Tinggi di Indonesia. Yaitu membangun program pengembangan PT yang mempunyai budaya akademik unggul, berkualitas, serta mampu berdaya saing secara internasional. Dan salah salah satu upayanya adalah dengan meningkatan kualitas kelimuan, pengalaman dan interaksi secara internasional bagi para (calon) pengajar dan peneliti di Perguruan Tinggi di Indonesia. Dan wujud konkretnya adalah dengan mendorong agar para calon pengajar dan peneliti dapat melanjutkan studi ke jengjang strata dua dan strata tiga di berbagai kampus terbaik dunia.

Mungkin dalam pandangan Mendikbud, semakin banyak mahasiswa (calon pengajar dan peneliti) Indonesia yang belajar di kampus elit dunia, baik yang berada di Amerika Serikat dan Eropa, sebut saja misalnya; Universitas Harvard, Universitas Columbia, UC Berkeley, Universitas Cambridge, Universitas Oxford, dan lainnya secara otomatis juga akan meningkatkan kualitas pengajaran, penelitian dan pendidikan di perguruan tinggi Indonesia. Pandangan ini sekilas mampu menjawab masalah kualitas mutu dan kinerja pendidikan tinggi di Indonesia, padahal tidak segampang yang dibayangkan. Perlu persiapan yang matang, jangkauan jauh ke depan, dan tidak serampangan.

Sebelum merealisasikan program beasiswa Presidential Scholarship, kemendikbud perlu memperjelas tentang “50 Perguruan Tinggi/Universitas terbaik di dunia”. Mengapa demikian? karena hal ini terkait dengan rujukan terhadap sistem perangkingan universitas yang ada di dunia. Perlu diketahui bahwa ada beberapa lembaga yang melakukan survei untuk menilai kualitas, reputasi, hingga pemeringkatan Perguruan Tinggi di seluruh dunia. Sehingga ada standar yang sama untuk dijadikan acuan, baik bagi Kemedikbud sendiri dan tentunya juga bagi perguruan tinggi, baik negeri, swasta dan publik secara umum yang tertarik untuk berbartisipasi dalam program beasiswa tersebut.

Berdasarkan penelusuran penulis ada beberapa lembaga pemeringkatan universitas yang cukup diperhitungkan di dunia, mulai dari Times Higher Education (THE), Academic Ranking of World Universities (ARWU), QS (Quacquarelli Symonds) Top Universities, HEEACT (Higher Education Evaluation and Accreditation Council of Taiwan), 4ICU (International Colleges and Universities), Webometrics dan lainnya. Masing-masing lembaga tersebut memiliki kriteria, indikator, dan metodologi yang berbeda dalam menentukan peringkat Perguruan tinggi di dunia. Meskipun demikian tidak dipungkiri, dari beberapa lembaga tersebut juga memiliki beberapa indikator dan metodologi yang hampir sama.

Pertanyaannya, lembaga mana yang akan dijadikan sebagai rujukan untuk menentukan 50 univeritas terbaik se-dunia tersebut? Kemendikbud tentu harus memberikan argumentasi mengapa harus memilih salah satu diantara lembaga-lembaga survei perguruan tinggi tersebut. Kalau kita cermati lembaga-lembaga survei perguruan tinggi bukan hanya melakukan penilian mutu dan kualitas Institusi Universitas, tapi juga secara spesifik dalam bidang keilmuan yang berada di level program studi atau departemen. Misalnya saja Universitas A masuk menjadi 50 universitas terbaik, tapi dalam perangkingan program studi (disiplin keilmuan) ternyata masuk di peringkat 60 misalnya. Apakah patokannya berdasarkan peringkat kampus (baca Universitas) atau program studi yang ditawarkan oleh PT tersebut? Atau bisa berdasarkan peringkat kedua-duanya, baik di level universitas atau program studi? Persoalan detail ini tentu juga harus sudah diselesaikan terlebih dahulu sebelum kemendikbud meluncurkan program ini kepada publik. Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman atau bahkan misinterpretasi (salah pemahaman).

Penulis tidak tahu pasti apakah nantinya para penerima beasiswa presiden ini juga diikat dengan sebuah komitmen terkait pasca lulus studi di kampus top dunia tersebut. Hal sama sudah dilakukan oleh kemendikbud dalam program beasiswa luar negeri yang saat ini sedang berjalan. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi terjadi brain migration misalnya, karena godaan berkarir di luar negeri lebih menarik (dari segi fasilitas, otonomi, finansial dan lainnya) dibanding di tanah air.

Setelah berhasil menempuh studi master atau doktoral diharapkan kembali ke Indonesia untuk mengabdi di kampus dalam negeri. Hal ini bertujuan agar para penerima beasiswa yang pernah menempuh studi di berbagai kampus top dunia mempunyai tanggungjawab untuk menjadi pelopor perubahan di masing-masing kampus. Mereka mampu menggerakkan budaya akademik yang unggul seperti pengalaman yang telah mereka dapatkan selama menempuh studi di berbagai universitas terbaik dunia. Harapannya mereka bisa menjadi kader-kader akademisi yang berdedikasi dalam pengembangan keilmuan, pengajaran, penelitian, dan inovasi demi kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Program beasiswa luar negeri sudah berjalan sejak era Bambang Sudibyo hingga kemendikbud (dulu kemendiknas) di bawah kepemimpinan Muhammad Nuh. Program ini tentu tidak bisa dipisahkan dari realisasi 20 persen APBN untuk bidang pendidikan, termasuk di dalamnya pengembangan dan peningkatan kualitas Pendidikan Tinggi. Salah satu penerjemahannya adalah untuk beasiswa luar negeri para dosen dan mahasiswa. Meskipun demikian, semoga bukan hanya karena ingin menghabiskan, mempertahankan atau ingin menambah anggaran Kementerian saja, tapi jauh dari pada alasan tersebut. Maka diperlukan monitoring dan evaluasi atau bahkan penelitian secara serius terhadap program beasiswa luar negeri yang sudah dilakukan selama dua periode kepemimpinan SBY. Untuk mengetahui sejauh mana dampak kebijakan beasiswa luar negeri tersebut bagi pendidikan tinggi kita saat ini. Riset-riset apa saja yang sudah dihasilkan oleh para penerima beasiswa, kontribusi peran alumni penerima beasiswa bagi pengembangan kelimuan, serta hambatan apa saja yang mereka hadapi ketika ingin mengembangkan inovasi di kampus ketika kembali. Pertanyaan yang terakhir penting untuk dilontarkan, karena seringkali ketika lulusan luar negeri kembali ke PT asal, bukan menjadi produktif dan inovatif secara keilmuan, tapi justru menjadi stagnan dan frustasi. Hal ini disebabkan karena faktor budaya dan struktur akademik kampus yang tidak kondusif dan jauh dari tata kelola kampus yang baik.

Di tengah banyak kritikan terhadap pemerintahan SBY, paling tidak di bawah pemerintahannya-lah program pemberian beasiswa luar negeri bagi tenaga pendidikan PT dilakukan. Akhirnya, beasiswa luar negeri tetap masih diperlukan bagi pengembangan kualitas pendidikan tinggi Indonesia. Meskipun demikian, itu harus dimasukkan dalam sebuah program pengembangan kualitas Perguruan Tinggi secara keseluruhan. Yaitu dalam rangka membangun tata kelola universitas yang baik dan menghasilkan budaya akademik unggul dari pada dominan budaya birokratis, budaya akademis dari pada budaya feodal dan politis, yang masih banyak terjadi di berbagai kampus baik negeri maupun swasta. Semoga.


Selengkapnya »

Politik Pendidikan dan Kurikulum**

1 komentar








Oleh Moh. Mudzakkir*


Ganti menteri ganti kebijakan, berubah kebijakan berubah pula kurikulum pendidikan”. Demikianlah komentar yang muncul ketika melihat realitas pendidikan saat ini. Di salah satu media nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, menolak anggapan tersebut. Seolah-olah masing-masing menteri ingin dikenang dengan kebijakan-kebijakan atau program baru yang membedakaan dengan para pendahulunya. Memang ada kebijakan yang tetap dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya (Profesi Guru, Ujian Nasional dan Beasiswa Luar Negeri di PT), tapi juga ada perubahan kebijakan yang mengejutkan, misalnya dalam hal kurikulum.

Kurikulum memang bukan merupakan sesuatu hal yang statis, tetapi ia harus dinamis mengikuti perkembangan zaman. Perubahan yang akan dilakukan harus benar-benar didasarkan pada evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum yang selama ini telah diimplementasikan. Pembaruan kurikulum ini juga harus melihat dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat, karena kurikulum tidak bebas dari realitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Sehingga kurikulum yang baru dapat mempersiapkan generasi baru yang mampu menjawab tantangan dan membaca tanda-tanda zaman yang terus berubah.

Menurut Rakhmat Hidayat (2011), kurikulum adalah jantung pendidikan. Kurikulum mampu mengonstruksi wajah pendidikan suatu bangsa, bila berkualitas kurikulum yang dihasilkan maka berkualitas pula pendidikan bangsa tersebut atau sebaliknya. Meskipun demikian, kurikulum bukanlah hanya sekedar menyangkut materi, pendekatan, metode, instrumen dan proses pembelajaran yang terjadi di level mikro, tetapi kurikulum juga menyangkut hubungan-hubungan sosial berbagai agen yang terlibat dan berkepentingan di belakangnya. Kurikulum sangat terkait dengan kepentingan politik penguasa, relasi negara dan sekolah, maupun relasi antara sekolah dan masyarakat. Bahkan relasi pasar atau modal pun juga mempunyai kepentingan untuk mendapatkan keuntungan dalam proses pendidikan melalui kurikulum yang dikonstruksikan.

Perdebatan kurikulum bukan hanya menyangkut soal pendidikan secara teknis, tapi dia juga menyangkut wacana politik kebangsaan. Di Hongkong misalnya, perdebatan tentang pemberlakukan Kurikulum Patriotisme oleh Pemerintah RRC mendapat resistensi (perlawanan) dari berbagai pihak mulai dari para pelajar, mahasiswa, guru, dan masyarakat secara luas. Pemerintah Beijing memandang kurikulum tersebut penting dalam menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) identitas nasional, di tengah meningkatnya sentimen anti Beijing di kota kawasan selatan yang menganut semi otonom dan sistem demokrasi. Menurut pemrotes, kurikulum patriotisme yang akan diterapkan oleh pemerintah pusat terkesan sebagai brainwashing (cuci otak). Lebih lanjut mereka melihat kurikulum mata pelajaran itu mendewakan salah satu partai dan menyembunyikan peristiwa seperti Tiananmen berdarah dengan adanya tindakan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa pada 1989, kelaparan massal, serta pembunuhan ekstrayudisial pada era Revolusi Kebudayaan era Mao Tsetung (Antara News, Selasa, 4 September 2012).

Rilis survei PISA (Program for International Student Assessment) pada tahun 2009 cukup mengejutkan publik Amerika Serikat. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur kemampuan siswa dari 65 negara anggota OECD(Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam tiga bidang keahlian; membaca, matematika, dan sains. Dalam kemampuan membaca siswa Amerika Serikat berada di peringkat 17, peringkat 31 di bidang Matematika, dan ke 23 di bidang Ilmu Pengetahuan Alam (sains). Berbeda dengan Cina, di setiap kemampuan berada di peringkat pertama. Korea Selatan berada di peringkat ke 2 untuk kemampuan membaca, matematika di urutan ke 4 dan kemampuan sains di peringkat ke 6 dari total 65 yang disurvei. Yang cukup mengejutkan lagi Amerika Serikat kalah peringkat dengan Singapura yang masuk lima besar dari ketiga kemampuan yang diteliti, kemampuan membaca (5), matematika (2), dan sains (4).

Survei ini tentu cukup mengejutkan tapi sekaligus menunjukkan pergeseran peta dunia. Bila selama ini Amerika Serikat berada di posisi lima besar dalam beberapa dekade, justru saat ini terlempar ke 20 besar. Turunnya peringkat ini telah menjadi isu dan perdebatan politik nasional di negeri Paman Sam, yaitu perlunya evalusi kebijakan terhadap kurikulum yang selama ini diterapkan, khususnya dalam hal kemampuan dasar (basic skills) membaca, matematika, dan sains.

Fareed Zakaria, seorang pengamat politik Internasional terkemuka Amerika Serikat, melihat bahwa fakta ini bisa menjadi persoalan serius bagi masa depan bangsa Amerika Serikat. Generasi muda Amerika Serikat bisa kalah bersaing dengan kaum muda dari negara-negara yang pendidikannya lebih berkualitas. Oleh karena itu menurutnya, Pemerintah harus segera mencari solusi untuk memperbaiki dan meningkatkan peringkat tersebut, yaitu dengan jalan mereformasi kurikulum pendidikan. Bukan hanya itu saja, kegelisahan itu pun segera direspon oleh Bill Gates, bos Microsoft dan pendiri The Gate Foundation, dengan mendonasikan dana sebesar 5 miliar dolar US untuk perbaikan kurikulum pelajaran, perpustakan, dan beasiswa (Mudzakkir, 2012). Bahkan kualitas (kurikulum) pendidikan ini kemudian menjadi salah satu topik panas dalam perdebatan Pemilu Presiden AS dua bulan yang lalu, antara Barack Obama dan Mitt Romney.

Dalam sejarah Indonesia, kita bisa lihat bagaimana kurikulum tidak bebas dari relasi kekuasaan. Orde Baru melalui kurikulum mata pelajar Sejarah dan P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) menjadikan pendidikan sebagai aparat negara yang bersifat ideologis (ideological state apparatus). Melalui buku-buku teks para pelajar digiring untuk mempunyai pemahaman sejarah versi resmi Orde Baru. Dengan penataran-penataran P4 di setiap tingkatan, para pelajar, mahasiswa, dan bahkan PNS juga dicocok hidungnya agar tunduk dan patuh kepada rezim Orde Baru. Penafsiran kritis terhadap sejarah maupun Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di luar kurikulum yang telah dirumuskan oleh Pemerintah dianggap haram atau subversif.

Berangkat dari pengalaman di atas, maka penyusunan kurikulum baru khususnya dalam mata pelajaran (Pendidikan Agama, PPKn, Bahasa Indonesia) harus mencerminkan spirit menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, menghormati Hak Azasi Manusia (HAM), pluralisme dan multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme, berfikir global dan bertindak lokal (think globally and act locally). Dan tentunya juga semangat anti korupsi, sebagai bentuk respon kritis terhadap praktek korupsi yang menggurita dan merajalela di negeri ini.

Perubahan kurikulum dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan tentu sangat diperlukan dan bahkan menjadi keharusan. Partisipasi publik dari berbagai elemen, Perguruan Tinggi, LSM (Pendidikan), Ormas, Yayasan penyelenggara Pendidikan, Partai Politik, dan ahli pendidikan perlu dilibatkan. Uji publik terhadap draft kurikulum baru harus benar-benar dilakukan secara subtansial, bukan hanya sekedar prosedural dan seremonial. Jangan sampai Uji publik dilakukan dalam rangka menggugurkan kewajiban karena mengejar target tutup anggaran. Bukan hanya itu, Pemerintah juga harus mempersiapkan pemahaman dan kemampuan guru untuk mengaplikasikan kurikulum baru dengan berbagai workshop dan pelatihan secara sistematis dan terencana.

Usaha yang dilakukan pemerintah dalam merumuskan kebijakan kurikulum yang baru patut diapresiasi. Meskipun demikian, kritik dan saran konstruktif harus dilakukan untuk mengawal uji publik Kurikulum 2013 yang dilaksanakan pada akhir November dan selama bulan Desember 2012. Kurikulum yang baik akan menghasilkan pendidikan yang berkualitas. Bila semua generasi muda Indonesia bisa mengenyam pendidikan yang unggul, maka bukan mustahil mereka bisa mengubah konstelasi dunia, seperti Cina, Korsel, dan Singapura saat ini. Akhirnya kata bijak mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela patut kita camkan bersama bahwa, “education is the most powerful weapon which you can use to change the world”, itu benar dan banyak bangsa telah membuktikannya. Bagaimana dengan bangsa kita? Mari kita buktikan.


**Pernah dimuat di Koran Editor, 6 Desember 2012.
*Dosen Sosiologi Pendidikan dan pendidikan Kritis Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.
Selengkapnya »

Rabu, 05 Februari 2014

Kemiskinan dan Persatuan Bangsa

1 komentar
Oleh Moh. Mudzakkir

Pengantar
     Mengapa rasa nasionalisme masyarakat Indonesia seolah-olah bertambah ketika menyaksikan pertandingan-pertandingan olah raga? Terutama sekali saat olah raga yang sangat populer di negeri ini digelar. Lihat saja ketika pertandingan sepakbola antara kesebelasan U-23 Indonesia melawan Malaysia. Berbagai media, baik lokal maupun nasional, menjadikan headline besar-besaran peristiwa tersebut. Berbagai dukungan diberikan oleh masyarakat dari berbagai lapisan, baik secara langsung datang ke stadiun menjadi suporter atau hanya sekedar menyaksikan melalui layar kaca. Masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Nias hingga pulau Rote seakan-akan dipersatuan oleh perasaan sebangsa dan setanah air yang mempunyai tujuan memenangkan permainan sepkabola pada malam itu. Meskipun tim nasional indonesia dikalahkan, tapi aura dan euforia menjadi suatu bangsa saat itu cukup terasa.
     Harus kita akui, bahwa sepakbola bukan hanya sekedar berkaitan dengan kesehatan, hobi, dan kebutuhan untuk mengakumulasi modal ekonomi. Tapi terkadang juga bisa memberikan wahana dalam rangka membangun solidaritas sosial (social solidarity) dalam sebuah masyarakat. Dan salah satu perwujudan solidaritas sosial tersebut adalah imajinasi sebagai sebuah bangsa Indonesia. Apalagi ketika kesebelasan Indonesia berhadapan dengan negara tetangga (baca; Malaysia) yang dianggap telah melecehkan harga diri bangsa Indonesia (mulai dari kasus TKW, TKI, Illegal logging, klaim pulau di perbatasan, hingga  yang terakhir kasus pencaplokan daerah perbatasan di daerah Kalimanatan), seakan-akan sepakbola menjadi ruang untuk mengartikulasikan kegelisahan rasa nasionalisme kita.
     Hal ini bisa kita lihat dari ungkapan yang muncul di media massa dan spanduk suporter saat pertandingan Indonesia versus Malaysia digelar, “Ganyang Malaysia!” dan “Cabik-cabik Harimau Malaya”. Ungkapan pertama tentu tidak bisa lepas dari ingatan historis kita saat Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1960-an. Ketika Soekarno menuduh Malaysia sebagai boneka Inggris (imperialisme) di Asia Tenggara, dan ia menyerukan kepada relawan Indonesia dengan ungkapan “Ganyang Malaysia!”.
      Di sisi lain, saya melihat terkadang sepakbola juga bisa menjadi “candu masyarakat” dan “nasionlisme sesaat” atau instan. Mengapa demikian?  Ada dua argumen yang bisa diutarakan di sini.  Pertama, ketika masyarakat kelas bawah, menengah, dan atas bersama-sama menyaksikan dan mendukung tim nasional, seolah-olah persoalan sepakbola menjadi peristiwa penting bagi nasib bangsa Indonesia. Dan pada saat yang sama, para elit dan masyarakat melupakan problem-problem kebangsaan lainnya yang lebih penting dan mendesak untuk segera diselesaikan; seperti pengentasan kemiskinan, pemberantasan korupsi, pemerataan pendidikan, perluasan lapangan pekerjaan, pemberantasan mafia hukum, kejatahan korporasi dan lainnya. Kedua, para pemimpin dan masyarakat kita merasa sudah menjadi sangat nasionalis, mencintai dan membela bangsa dan negara Indonesia, ketika ikut serta menyaksikan dan mendukung tim nasional. Tapi di sisi lain, mereka tidak  peduli atau bahkan tidak tergerak untuk menyerukan solidaritas bersama untuk  mengentaskan kemiskinan dan kemeralaratan saudara sebangsa dan setanah airnya. Bukankan ini tidak kalah kadar nasionalismenya?

Kemerdekaan, Kemiskinan dan Persatuan Nasional
     Soekarno mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia dibangun berdasarkan persamaan nasib sebagai bangsa yang dijajah dan ditindas oleh imperalisme Belanda. Nasionalisme yang bukan di dasarkan oleh ras, etnisitas, bahasa, atau pun agama. Oleh karena itu semboyan yang dipilih adalah Bhineka tunggal eka, berbeda-beda namun tetap menjadi satu kesatuan.
     Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menjelaskan bahwa alasan utama bangsa Indonesia harus merdeka adalah karena kita meyakini bahwa penjajahah tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penjajahan telah membuat kita tidak berdaya, baik secara batin maupun lahir sebagai manusia. Penjajahan telah merampas hak-hak kita sebagai manusia yang sesungguhnya. Dan dampak terbesar adalah hak-hak ekonomi bangsa kita yang dirampas. Akibatnya adalah kemiskinan, kemelaratan, dan kesenjangan sosial ekonomi yang sangat besar. Indonesia lahir untuk menyelesaikan  persoalan kemanusiaan tersebut, yaitu dengan jalan memberdayakan dan mensejahterakan rakyatnya.
     Tapi pertanyaannya kemudian adalah apakah bangsa Indonesia telah mampu membebaskan dirinya dari kemiskinan dan beralih menjadi bangsa yang sejahtera? Tentu belum tercapai, itulah jawaban yang muncul dari mulut kita bersama. Mengapa hal ini bisa terjadi? apa yang menyebabkan bangsa kita terperosok pada problem kemiskinan dan hingga sekarang belum mampu menyelesaikan? Dan apa hubungan antara kemiskinan dan persatuan nasional? Mungkin inilah pertanyaan-pertanyaan reflektif yang terbersit dalam benak kita. Dan hingga sekarang terus menggusik nalar kritis untuk mencari jawaban atas problem kebangsaan ini.
     Diantara beberapa pertanyaan di atas saya mencoba untuk mengeksplorasi pertanyaan yang terakhir. Secara general, saya akan menjawab bahwa kemiskinan dan persatuan dan kesatuan bangsa mempunyai relasi yang sangat kuat. Dan bahkan bisa mempunyai dampak yang sangat besar baik secara konstruktif maupun dekonstruktif bagi proses kehidupan berbangsa suatu negara tertentu, tidak terkecuali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Marilah kita ambil contoh kasus negara tetangga Malaysia pada awal pasca kemedekaannya. Secara demografis, Malaysia dihuni oleh tiga etnis besar yaitu Melayu, Cina, dan India. Meskipun etnis Melayu mayoritas secara populasi, tapi minoritas dalam penguasaan ekonomi. Kemiskinan yang meluas dan tingkat pendidikan yang rendah, dua hal yang berkelindan membuat orang-orang Melayu menjadi jauh tertinggal dengan etnis Cina perantauan yang dikenal mempunyai kultur pekerja keras. Belum lagi ditambah kebijakan kolonialisme Inggris yang diskriminatif terhadap bangsa Melayu membuat mereka secara historis struktural termarjinalkan.
     Akibat proses-proses  tersebut akhirnya ketegangan antara Melayu dan Cina pun terjadi. Bahkan ketegangan tersebut mencapai pada puncaknya ketika terjadi kerusuhan rasial yang hampir saja membuat Malaysia terpecah belah. Mahathir Mohammad mampu melihat akar persoalan konflik ras ini. Salah satu akar persoalannya adalah faktor kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan yang terjadi pada etnis Melayu sebagai dampak destruktif praktek kolonialisme Inggris.
     Untuk mengatasi problem itu Pemerintah Malaysia membuat solusi jangka panjang, yaitu  dengan membuat kebijakan affirmative action yang ditujukan kepada mayoritas etnis Melayu yaitu dengan meningkat taraf hidup dan pendidikan mereka. Seperti kita lihat sekarang, kebijakan rezim Mahathir Mohammad tersebut ternyata cukup efektif dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga negaranya (khususnya Melayu). Belum lagi dalam bidang pendidikan Malaysia secara serius membebaskan biaya pendidikan dan menyekolahkan pelajar/mahasiswa yang potensial ke negara-negara maju. Setelah satu atau dua dekade, Malaysia pun mengalami perubahan yang cukup luar biasa. Ketegangan dan konflik yang mengancam integrasi Malaysia seperti masa tahu 1960-an dan 1970-an sudah sangat sedikit terjadi, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada sama sekali.
     Dalam konteks Indonesia, contoh dampak kemiskinan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa cukup banyak yang bisa dijadikan contoh. Pasca runtuhnya rezim orde baru pada 1998 misalnya, bermunculan gerakan-gerakan separatis yang berada di beberapa provinsi mulai Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, dan Papua (Irian Jaya). Ketiga provinsi ini dikenal sebagai daerah penghasil hasil tambang yang cukup kaya, namun hasil hasil kekayaan alam (minyak bumi, gas, emas, dan tembaga) yang berada di daerah mereka justru yang menikmati adalah pemerintah pusat. Pembagian hasil pengolahan kekayaan alam yang tidak proporsional ditambah lagi korupsi yang merajalela (pusat atau daerah) membuat trickle down effects pembangunan tidak bisa dirasakan oleh ketiga masyarakat daerah tersebut.
     Tidak ada korelasi antara daerah kaya hasil bumi dengan tingkat kesejahteraan penduduk dan tingkat pendidikan. Akibatnya, gejolak ketidakpuasan pun tidak terbendung. Salah satunya adalah dengan bangkitnya gerakan-gerakan protes menuntut ketidakadilan hingga tingkat yang ekstrim, yaitu membuat gerakan yang berujung separatisme. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menuntut lepas dari NKRI akibat ketidakadilan politik ekonomi. Bukan hanya menggunakan jalur diplomasi tapi juga menggunakan jalur perjuangan senjata. Hingga akhirnya perdamaian pun tercapai meskipun dengan jalan berdarah-darah korban anak bangsa. Aceh pun mendapatkan Otonomi khusus sebagai jalan tengah.
     Hampir sejalan dengan Aceh, Papua pun juga melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Meskipun Papua dikenal sebagai provinsi yang kaya akan sumber daya alam tapi rakyat papua masih belum semua menikmati kue pembangunan. Bahkan ketika terjadi konflik antara Freeport dan pendudukan lokal, pemerintah lebih memihak kepada peruhanan Transnasional tersebut. Pemerintah lebih melindungi perusahan asing yang jelas-jelas berbuat curang, pemimpin kita tidak mempunyai keberanian untuk merubah keadaan menjadi lebih adil dengan pihak asing.
      Kekayaan alam yang begitu melimpah seharusnya dapat dikelola dan dinikmati bangsa sendiri, tapi justru sebaliknya dikelola pihak asing dan dibagi secara tidak adil. Rakyat Indonesia dan Papua mendapat bagian yang lebih sedikit dibandingkan bagian Freeport. Kalau saja hasil kekayaan alam tersebut dikelola dan didistribusikan secara adil, niscaya rakyat Papua sejahtera dan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
     Ketidakadilan yang terjadi pada rakyat Papua menimbulkan gejolak ketidakpuasan. Gerakan-gerakan protes pun dilakukan oleh masyarakat Papua. Tuntutan memisahkan diri dari NKRI pun juga dilakukan sebagai bagian dari protes dari ketidakadilan yang mereka alami. Seperti kasus Aceh, Papua pun mendapatkan jawaban atas tuntutan mereka dengan otonomi khusus. Meskipun solusi tersebut belum menjawab persoalan-persoalan utama di Papua khususnya dalam soal keadilan ekonomi. Tapi paling tidak sudah memberikan solusi sementara. Tuntutan merdeka mungkin tidak akan muncul lagi apabila tingkat kemiskinan tinggi dan rendahnya pendidikan bisa diatasi.
     Selain kasus Aceh dan Papua, faktor lain yang bisa dijadikan contoh adalah soal konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Beberapa kasus etnis yang muncul di permukaan kalau ditelusuri secara mendalam sebenarnya bukan disebabkan oleh persoalan etnisitas itu sendiri. Tapi lebih disebabkan oleh persoalan kesejahteraan ekonomi. Ketika pendatang datang di suatu daerah tertentu lebih bekerja keras, kreatif, dan semangat untuk mencari peluang, di sisi lain penduduk asli terlenakan oleh keadaan yang sudah ada. Kecemburuan pun biasanya terjadi yang pada titik tertentu menimbulkan ketengangan dan puncaknya adalah konflik sosial yang bisa menganggu merobek persatuan dan kesatuan bangsa.
     Kemiskinan bukan hanya bisa menjadi bibit atau akar persoalan bagi disintegrasi bangsa secara luas, tapi juga prakondisi terjadinya problem kriminalitas dan perilaku sosial yang menyimpang di dalam masyarakat. Bukan rahasia lagi kalau faktor kemiskinan ditambah dengan susahnya mencari lapangan pekerjaan membuat orang berbuat nekat dan gelap mata untuk melakukan tindakan kejahatan, apakah itu mencopet, mencoleng, menipu, merampok, hingga membunuh. Secara sederhana dapat ditarik kesimpulan tentatif, semakin tinggi tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk suatu negara, maka semakin rendah tingkat kriminalitasnya.
      Dalam konteks Indonesia, kriminalitas ringan bisa dipahami sebagai akibat sistem ekonomi politik yang tidak adil yang membuat sebagai warga negara berbuat hal tersebut demi mempertahankan hidup. Tapi berbeda dengan kasus kriminalitas yang dilakukan oleh para elit yang koruptor, jelas itu bukan kaerna mempertahankan hidup. Tapi lebih karena kerakusan, kemewahan, dan strategi untuk membeli kekuasaan, Dan inilah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang harus diberantas oleh negara. Akibat perbuatan mereka, uang yang seharusnya dipergunakan untuk membangun kesejahteraan rakyat  justru  dihisap untuk kepentingan pribadi dan kelompok (misal korupsi oleh partai).
     Hampir tiap bulan kita mendengar berbagai persoalan di dalam masyarakat yang memiriskan hati terkait dengan kemelaratan. Mulai dari kasus bunuh diri seorang pria yang tidak kuat menahan hutang dan seorang ibu membunuh anak kandung sendiri yang masih kecil karena takut tidak bisa membiayai hidup mereka. Bahkan ada seorang ibu yang tega menjual bayinya demi mendapatkan uang. Yang lebih parah lagi seorang bapak menjual keperawanan anak gadisnya demi mendapatkan beberapa lembar uang. Dan masih banyak lagi  masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh anak bangsa akibat dari kemiskinan di level keluarga.

Akhirnya
      Dari uraian di atas, kemiskinan bukan hanya bisa menjadi faktor bagi disintegrasi persatuan dan kesatuan bangsa dilevel makro, tapi lebih dari itu. Kemiskinan juga bisa merusak keamanan, ketertiban, dan kenyamaan dalam kehidupan sosial. Ia juga bahkan bisa menimbulkan persoalan yang serius bagi kehidupan keluarga sebagai miliue terkecil dari kehidupan berbangsa dan bernegara di level mikro.
      Dari realitas itulah seharusnya Negara (baca; pemerintah) harus betul-betul melihat kemiskinan sebagai suatu faktor signifikan berbagai persoalan kebangsaan. Meskipun bukan secara monokausal semua disebabkan oleh faktor ini, tapi secara faktual kemiskinan terbukti mampu menjadi bom waktu yang mengancam kedamaian kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera kita. Negara harus hadir untuk menjawab persoalan kesejahteraan rakyat tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kalau negara (pemerintah) tidak mau dan tidak mampu menyelesaikan ini secara serius, maka pertanyaan yang harus kita lontarkan adalah buat apa kita mempunyai pemerintah? Dan untuk apa kita bernegara?
     Akhirnya, mengutip pernyataan Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank dan peraih Nobel perdamaian (karena perjuangannya mengentaskan kemiskinan di Bangladesh dan dunia), “kita berharap suatu hari kelak untuk melihat dan mengetahui kemiskinan hanya di museum, kemiskinan hanya dapat dilihat sebagai sesuatu bagian dari masa lalu”.  Tentu kita semua menginginkan dan berusaha memperjuangkan hal tersebut terwujud di negeri tercinta ini. Semoga hal ini terjadi di masa depan. Amien.

[i]  Tulisan ini disampaikan sebagai bahan diskusi pada Seminar “Kemiskinan dan Kesatuan Bangsa” yang diselenggarakan oleh el-DEKA, 27 Desember 2011 di Sidoarjo.
Selengkapnya »

Paradoks Nasionalisme Bola

1 komentar
Oleh Moh. Mudzakkir

      Berbicara tentang nasionalisme memang tidak ada habisnya. Tidak terkecuali nasionalisme dalam konteks Indonesia. Hampir setiap saat diskursus nasionalisme bisa dikaitkan dengan isu-su kontemporer, ambil contoh seperti kasus yang menggemparkan minggu ini. Bahwa Malaysia telah menerobos wilayah kedaulatan NKRI, bahkan dengan berani membangun pemukiman di tempat tersebut. Publik Indonesia merasa dilecehkan, serta membangkitkan jiwa patriotisme untuk memberi pelajaran terhadap negeri jiran tersebut. Tapi sayang,  seperti yang telah lalu pemerintah kita sangat lunak dan terlalu arif, kalau tidak boleh dibilang tidak berwibawa, dalam menyikapi isu kedaulatan bangsa ini.
    Jauh dari hiruk pikuk kota Jakarta, di ruang kelas Pusbangtendik Depok, perdebatan tentang nasionalisme juga cukup menggairahkan. Para peserta prajabatan golongan III yang berjumlah 40 orang cukup serius mendiskusikan wawasan kebangsaan. Dibagi ke dalam enam kelompok, masing-masing kelompok mendiskusikan tema nasionalisme yang kemudian mempresentasikan di kelas secara bergantian. Tema-tema yang diangkat cukup menarik dan sekaligus memicu polemik. Bahkan karena sangat menarik perhatian peserta diskusi, waktu presentasi (penyajian dan tanya jawab) yang seharusnya sudah habis, masih saja ada partisipan yang ingin mengajukan pertanyaan, menyanggah, atau bahkan hanya untuk sekedar mengelaborasi pemikiran atau gagasan.
      Tema-tema yang muncul dalam diskusi tersebut adalah tentang klaim kain batik oleh Malaysia, penjualan pasir ke Singapura, penguasaan aset minyak oleh Exxon Mobile, Ilmuwan Indonesia di luar negeri yang tidak mau kembali, Bola dan nasionalisme sesaat, dan terorisme. Masing-masing kelompok mencoba mengaitkan isu-isu kontemporer tersebut dengan wawasan kebangsaan. Lebih menarik dari pada hanya sekedar membaca buku panduan diklat prajabatan yang hanya sekedar memaparkan pengertian dan data-data datar tentang wawasan kebangsaan. Untungnya, Ibu Kokom Komala, seorang widya iswara Pusbangtendik cukup memahami dan mengapresiasi gairah intelektual para peserta diklat yang sedang membuncah.
     Pada saat diskusi tersebut, kelompok saya mengangkat tema tentang Bola dan Nasionalisme Sesaat. Tema yang cukup ringan dan populer, tapi dalam pandangan saya dan teman-teman, tema ini menarik menjadi bahan refleksi. Mengapa ketika Tim Nasional sepakbola Indonesia bertanding, kadar nasionalisme masyarakat kita sangat tinggi. Masyarakat berbondong-bondong ke stadion, para pejabat meluangkan waktu untuk menonton langsung, surat kabar menjadikan pertandingan Timnas sebagai headline, dan stasiun TV menyiarkan secara langsung sembari menggelorakan nasionalisme. Yang semuanya bertujuan untuk memberi semangat kepada timnas yang sedang berlaga melawan kesebelasan negara lain. Saat itu kita merasa menjadi imagined communities (masyarakat yang terbayangkan), meminjam istilah Benedict Anderson, yang mempunyai perasaan sama menjadi sebuah entitas bangsa. Dengan sepakbola itulah seakan-akan kita bisa membayangkan bahwa kita yang berasal dari berbagai pulau, suku bangsa, agama, bahasa daerah yang berbeda-beda dapat bersatu dalam satu bahasa, yaitu nonton dan dukung timnas!!
      Meskipun terkadang tahu lawan timnas kita cukup tangguh, dan memang kenyataannya beberapa kali pertandingan melawan timnas negara lain (Bahrain dan Qatar) kita kalah, namun dukungan dari masyarakat kita tetap terus mengalir. Hingga terkadang sepakbola sebagai sebuah permainan tidak dilihat sebagai sebuah olah raga an sich, tapi lebih dilihat menjadi persoalan harga diri dan gengsi suatu bangsa. Dan mungkin hal ini terjadi dalam masyarakat Indonesia. Sehingga ketika suporter kita berulah dengan menyalakan mercon saat berlangsungnya pertandingan Indonesia-Bahrain, mungkin karena malu, Presiden SBY meninggalkan stadion  sebelum pertadingan berakhir.
     Terkadang permaian timnas suatu negara mencerminkan karakter bangsanya. Ambil contoh misalnya permainan timnas Jerman yang dikenal dengan Pasukan Panser. Dalam permainannya mereka terlihat sebagai tim pekerja keras, disiplin, teratur, dan berjuang hingga titik darah penghabisan. Mental mereka tidak kendor meskipun sudah tertinggal gol dari lawan, dengan tetap bermain disiplin dan konsisten akhirnya mereka mampu bangkit dan memenangi pertandingan demi pertandingan meskipun harus kalah dengan Spanyol di semifinal. Hal ini bisa kita saksikan dalam pertandingan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan yang lalu.
       Hal yang sama juga tercermin ketika kita melihat permainan kesebelasan timnas Korea Utara. Mereka bermain dengan sangat ngotot untuk memberikan perlawanan yang terbaik kepada lawan tanding. Meskipun harus melawan timnas superpower seperti Brazil, mereka sama sekali terlihat tidak takut kebobolan gol. Bukannya setelah kemasukan gol berkali-kali mereka turun ke garis pertahanan untuk bermain defensif, tapi yang terjadi justru mereka tetap berusaha untuk melakukan serangan ke jantung pertahanan lawan. Gaya permainan timnas Korut merepresentasikan sikap tegas atau keras kepala mereka untuk tidak takut kepada negara superpower Amerika Serikat (AS). Meskipun Korut diembargo secara ekonomi politik dan dikucilkan oleh AS dan sekutunya, mereka tetap kuat dan tidak menyerah dan tunduk dengan AS. Bahkan Korut secara terang-terang berani menantang AS dengan mengarahkan rudal nuklirnya ke arah Korea Selatan dan Jepang (keduanya adalah sekutu AS).
    Berbeda dengan pandangan yang melihat sepakbola memiliki peran konstruktif dalam membangun semangat patriotisme dan nasionalisme. Dalam diskusi tersebut, saya justru melihat dengan kacamata yang berbeda. Sepakbola justru terkadang bisa menjadi candu bagi masyarakat, membuat masyarakat lupa dengan persoalan kebangsaan (nasionalisme) lainnya yang lebih mendasar yang harus diselesaikan. Seakan-akan dengan melihat dan mendukung timnas bermain kita sudah memiliki nasionalisme yang tinggi. Tapi ketika ada persoalan kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, dan banyak anak bangsa yang tidak bisa mengenyam pendidikan, masyarakat kita tidak mempertanyakan atau bahkan acuh tak acuh. Maka dalam konteks ini, masyarakat kita jatuh pada sikap paradoks. Semoga kita tidak jatuh pada nasionalisme sesaat**

October 22, 2011 at 1:37am
Selengkapnya »

Selasa, 04 Februari 2014

Pendidikan Politik Kaum Muda

2 komentar
Oleh Moh. Mudzakkir[i]
  1. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, kran demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terbuka lebar. Pergantian rezim pun terjadi, dari otoriter menjadi demokratis. Fajar baru demokrasi Indonesia pun mulai kembali terbit, dan salah satunya diwujudkan dengan adanya perubahan sistem politik, pemilu dan partai politik dalam kehidupan publik. Dalam ukuran minimalis demokrasi, pada tahun 1999 Indonesia telah berganti menjadi negara demokrasi. Hal ini ditandai dengan diselenggarakannya Pemilihan Umum pertama pasca rezim otoriter yang relatif jujur, bersih, dan adil (jurdil) dibanding pemilu sebelumnya.

  2. Setelah 15 tahun pasca reformasi, sistem politik Indonesia (termasuk di dalamnya pemilu), pelan tapi pasti secara prosedural mengalami perubahan. Pemilu sebagai sarana pergantian (sirkulasi) kekuasaan dan kepemimpinan negara yang sah secara konstitusional telah diselenggarakan tiga kali, yaitu pada tahun 1999, 2004, dan 2009. Perhelatan lima tahunan ini sebentar lagi juga akan diselenggrakan pada tahun 2013. Lebih lanjut, pada pemilu nanti rakyat akan memilih para calon wakil rakyat di berbagai tingkatan, baik di level kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Dan setelah itu akan dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden (pilpres) untuk memilih pemimpin puncak di republik ini, yaitu presiden dan wakil presiden.
     
  3. Berangkat dari realitas di atas, maka pemilu tahun depan akan sangat menentukan arah dan kepemimpinan bangsa dan negara. Untuk itulah rakyat harus memiliki kesadaran kritis (critical consciousness) dalam menentukan pilihan para kandidat pada pesta demokrasi tersebut. Yaitu memilih para calon pemimpin (legislatif dan eksekutif) yang memenuhi harapan publik; kandidat pemimpin yang memegang amanah, cakap, tidak korupsi, dan bekerja keras untuk kesejahteraan publik. Dalam upaya menghasilkan para pemimpin ideal tersebut, maka salah satu jalan adalah dimulai dari pemilih cerdas yang akan memilih pemimpin berkualitas tersebut.
     
  4. Pemilu bukanlah hanya sekedar persoalan memilih dan dipilih, tapi ia merupakan bagian dari proses pendidikan politik bagi seluruh warga negara. Yaitu mencerdaskan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam bidang politik khususnya. Pendidikan politik, menurut Alfian merupakan sebuah usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan benar-benar menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik ideal yang hendak dibangun. Rosadi Kantaprawira (1988; 54) melihat bahwa pendidikan politik sebagai suatu upaya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran politik rakyat agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik yang demokratis. Hal ini diperkuat dalam UU Nomor 2 tahun 2008, pendidikan politik dipahami sebagai sebuah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak kewajiban dan tanggungjawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
     
  5. Secara sederhana pendidikan politik mempunyai tujuan untuk membangun kesadaran kritis rakyat sebagai subjek politik bukan objek politik. Artinya memposisikan rakyat sebagai salah satu unsur yang paling penting dalam proses kehidupan demokrasi, bukan hanya sekedar pelengkap demokrasi. Harapannya, rakyat secara sadar mau dan mampu berpartisipasi aktif dalam proses kehidupan politik; menggunakan hak pilik, hak mengemukakan pendapat, kebebasan berkumpul, dan berserikat, bukan hanya saat Pemilu tapi dalam seluruh tahapan kehidupan politik bernegara. Partisipasi rakyat yang mampu menggunakan hak-hak konstitusional yang mereka miliki itulah yang akan mendewasakan warga negara dan juga akan meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi.
     
  6. Pendidikan bagi pemilih pemula merupakan bagian dari tahapan pendidikan politik. Berdasarkan data KPU, tidak kurang dari 15 % pemilih pada Pemilu 2013 adalah pemilih pemula. Selain itu, berdasarkan data Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu menunjukkan estimasi jumlah pemilih pemula ada sekitar 50 jutaan. Berangkat dari data tersebut menunjukkan bahwa betapa sangat penting dan berharganya suara para pemilih muda pada Pemilu 2014 nanti. Suara kaum muda inilah yang akan menetukan arah kompas dan kualitas kepemimpinan bangsa Indonesia selama lima tahun ke depan.
     
  7. Pemilih pemula adalah warga negara yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu. Mereka merupakan anggota masyarakat yang telah memenuhi syarat untuk memilih alias mempunyai hak suara. Secara konstitusional mereka sudah berumur 17 tahun, sudah atau pernah kawin, purnawiraan atau sudah tidak lagi menjadi anggota TNI dan POLRI. Pendidikan politik, dalam bentuk sosialisasi tentang proses pemilu dan seluk beluknya sangat penting diberikan kepada para pemilih pemula, terutama bagi mereka yang baru berusia 17 tahun.
     
  8. Banyak pengamat politik memprediksikan angka golput akan semakin bertambah, terutama di kalangan muda. Hal ini disebabkan karena kekecawaan publik terhadap berbagai perilaku para pemimpin politik yang dianggap jauh panggang dari api. Apalagi ditambah dengan banyaknya kasus korupsi yang banyak melibatkan pemimpin politik dari berbagai level, baik di legislatif dan eksekutif, di daerah hingga pusat. Kepercayaan publik terhadap para politisi turun drastis. Hal ini juga mempunyai konsekuensi terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi (baca; Pemilu).
     
  9. Tentu ini menjadi tantangan berat bagi para pegiat demokrasi untuk meyakinkan kembali rakyat, khususnya kaum muda untuk kembali berperan aktif. Usaha pendidikan politik bagi pemilih pemula harus digerakkan, termasuk meyakinkan bahwa langkah awal untuk memperbaiki kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara adalah berpartisipasi dalam pemilu. Yaitu berpartisipasi aktif dengan mengikuti perkembangan politik, pemilu, melihat track records para calon pemimpin, mendiskusikan dengan orang lain, dan kemudian memilih para pemimpin yang diyakini bersih, cakap, tidak korupsi, bekerja keras untuk kepentingan khalayak yang diwakilinya.
     
  10. Pemilu menjadi perhelatan politik yang mampu merubah arah kehidupan bangsa dan bernegara. Dalam perhelatan ini kita akan memilih anggota legislatif baik di tingkat daerah hingga pusat, bupati/wakil bupati hingga presiden dan wakil presiden secara langsung. Kita juga akan mengetahui visi, misi, serta program yang dijanjikan oleh para kandidat. Dari agenda demokrasi inilah kita bisa melihat bagaimana para kandidat secara sungguh-sungguh atau hanya sekedar artifisial dalam membangun kedekatan hubungan, kesepahaman, kepercayaan serta kontrak politik dengan konstituen. Bukan hanya sekedar menjual janji-janji palsu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mereka yang terpilih, baik sebagai wakil rakyat atau eksekutif akan sangat menentukan, apakah akan membawa bangsa dan negara kearah adil, makmur, sejahtera, dan lebih demokratis atau justru sebaliknya.
     
  11. Salah satu fungsi partai politik adalah melakukan pendidikan politik. Dalam prakteknya partai politik belum secara optimal melakukan fungsi edukasi kepada warga negara. Memang benar, bahwa tugas melakukan pendidikan politik bukan hanya dimiliki oleh parpol, tapi juga dilakukan oleh KPU, Bawalu, lembaga pendidikan (dasar hingga perguruan tinggi), masyarakat, ormas, dan media massa. Meskipun demikian parpol tetap harus mengambil peran utama sebagai lembaga politik yang memang tugas utamanya adalah membangun kehidupan demokrasi politik yang semakin berkualitas.
     
  12. Selama ini partai politik hanya melihat pelajar dan remaja (pemilih pemula) hanya sebagai objek politik. Mereka menggagap para pemilih pemula sebagai santapan empuk untuk memperoleh suara, tidak lebih dan tidak kurang. Parpol menggunakan media kampaye dengan segala rupa untuk menarik para pelajar dan remaja, yang kadang jauh dari subtansi pendidikan politik. Mereka hanya sekedar dipersuasi bahkan manipulasi pencitraan untuk memilih partai A, B, C, dan lainnya tanpa dijelaskan mengapa mereka harus memilih parpol tersebut dengan argumentasi rasional dan bisa dipertanggungjawabkan. Bila yang terjadi seperti itu, maka kampaye yang dilakukan tidak mencerminkan pendidikan politik tapi justru sebaliknya pembodohan politik.
     
  13. Pendidikan politik harus mampu melahiran kesadaran kritis para pemilih pemula; pelajar dan remaja. Bila parpol-parpol yang ada hanya sekedar melakukan agitasi bukan edukasi politik maka di sinilah peran penting pihak-pihak terkait lainnya untuk melakukan pendidikan politik bagi pemilih pemula yang lebih baik. Peran KPU, Bawaslu, skolah, Perguruan Tinggi, lembaga Swadaya Masyarakat, ormas, OKP, dan lain sebagainya. Dengan harapan pemilih pemula mampu menyadari dan berpartisipasi aktif dalam proses politik, terutama dalam pemilu yang akan datang.
     
  14. Secara praktis pendidikan politik bisa diwujudkan dengan dengan melakukan beberapa penyadaran agar pemilih pemula menjadi subjek politik. Pertama, penyadaran untuk proaktif berpartisipasi, dengan memastikan diri sudah terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap). Kedua, penyadaran kritis tentang pentingnya mengenali rekam jejak para calon legislatif, apakah mereka layak atau tidak menjadi wakil atau pejabat publik. Ketiga, penyadaran akan pentingnya mengetahui visi, misi, dan program partai politik dan kandidat. Dan terakhir, mendiskusikan pilihan dengan teman, kelompok, organisasi dan lainnya untuk menimbang dan meyakinkan pilihan. Semoga dengan melakukan penyadaran tersebut, para pemilih pemula menjadi subjek politik dan subjek perubahan dalam rangka memperkuat demokrasi Indonesia. Amien.

[i] Dosen Sosiologi Pendidikan dan Pendidikan Kritis pada Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Surabaya serta mantan pegiat Voter Education.
Selengkapnya »

RSBI; Reproduksi Kesenjangan Sosial

1 komentar
Oleh Moh. Mudzakkir[1]

Polemik tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dua minggu ini cukup menyita perhatian publik. Bahkan salah satu media nasional menjadikan tema ini sebagai headline, “Program RSBI Gagal Total” (Rabu, 4 Januari 2012). Program yang telah diimplemetasikan oleh Pemerintah sejak tahun 2005 ini dinilai gagal atau dianggap belum memenuhi ekspektasi pembuat kebijakan. Dari evaluasi kemendikbud, program RSBI hingga awal 2012 belum ada satu pun RSBI yang lolos menjadi Sekolah Berstandar internasional (SBI).  Hal ini disebabkan karena belum terpenuhinya keberadaan guru RSBI yang berijazah S2 (20 % guru SMA dan 30 % guru SMK), disamping juga masih minimnya penguasaan bahasa Inggris oleh para guru di RSBI.
Meskipun demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Muhammad Nuh, masih tetap optimis bahwa program RSBI belum berhasil bukan berarti gagal total karena memang program ini masih dalam proses. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ke depan program ini tetap dilaksanakan tentu dengan peningkatan dan perbaikan yang didasarkan pada evaluasi kemendikbud. Wujud konkretnya pemerintah tetap akan memberikan subsidi sekolah-sekolah yang berlabel RSBI serta memberikan pendanaan bagi guru-guru RSBI yang belum menempuh S2. Pemerintah juga akan menghentikan sementara permohonan usulan RSBI baru di setiap jenjang pendidikan.
Patut diapresiasi keberanian Kemendikbud dalam merilis “kegagalan” Program RSBI yang didasarkan pada evaluasi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan-nya di awal tahun 2012 ini. Jarang sekali sebuah instansi yang secara jujur mengakui ketidakberhasilan program kerjanya. Tentu ini menunjukkan sebuah budaya good governance secara prosedural (akuntabilitas dan transparansi), meskipun secara subtansial bisa jadi kebijakan yang dibuat bertentangan dengan filosofi negara (baca; Pancasila dan UUD) bila dikaitkan dengan hak dasar warga negara, yaitu persamaan hak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap warga negara.
Kelompok yang tidak sepakat dengan kebijakan RSBI beragurgmen bahwa program ini bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD, karena secara sadar Pemerintah telah melakukan diskriminasi pelayanan pendidikan, mengedepankan nilai-nilai internasionalisme daripada nasionalisme dan membiarkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Pemerintah juga tak kalah argumentasi, bahwa program RSBI ini merupakan derivasi dari amanat Pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam aturan tersebut dinyatakan; “Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”.  Landasan yuridis inilah yang membuat pemerintah (kemendikbud) tetap percaya diri untuk melanjutkan program RSBI meskipun dianggap gagal dan mendapatkan kritikan yang tajam dari berbagai kalangan. Kelompok kontra (Koalisi Pendidikan, ICW, YLBHI, Elsam, LBH Pendidikan, FSGI) kebijakan ini pun juga tak mau kalah langkah, mereka melayangkan gugatan (judicial review) pada tanggal 28 Desember 2011, terhadap regulasi tersebut yang dianggap menjadi dasar penyelenggaraan RSBI.
Selain perdebatan dasar hukum yang digunakan, yang lebih menarik dalam perspektif penulis adalah argumentasi yang berkaitan dengan peningkatan prestasi siswa dan persaingan global (isasi). Hal ini seperti yang seringkali disampaikan oleh Mendikbud Muhammad Nuh, bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya RSBI adalah untuk menampung pelajar-pelajar Indonesia yang berprestasi. Menurutnya diperlukan perlakukan khusus bagi mereka (siswa) yang mempunyai keunggulan prestasi (tentu yang dimaksud prestasi akademik) agar mereka dapat berkembang dan mampu bersaing di tingkat global. Maka selain siswa memiliki nilai mata pelajaran yang memuaskan (dibuktikan dengan nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) tinggi), mereka juga mempunyai penguasaan bahasa Inggris yang mumpuni.  Di lain kesempatan, dalam waktu yang berbeda baik Muhammad Nuh dan Suyanto (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah) juga pernah menyampaikan bahwa selain meningkatkankan kualitas pendidikan untuk bersaing di era global, RSBI diharapkan bisa menghemat pengeluaran devisa negara. Sebab, RSBI bisa menekan jumlah orang-orang (kelas menengah ke atas) menyekolahkan anaknya ke luar negeri.
Sadar atau tidak argumentasi yang dikemukan oleh pemerintah menunjukkan standpoint dalam wacana globalisasi. Pemerintah menerima “globalisasi” sebagai diskursus yang nyata dan bahkan kalau perlu mengimplementasikan globalis(me)asi  pra-syarat untuk maju. Kalau dalam persoalan ekonomi politik pemerintah kita sudah menganut doktrin globalisasi (yang diboncengi neoliberalisme), pelan tapi pasti kebijakan di sektor pendidikan juga akan atau bahkan telah menganut paradigma (neo)liberal. Ambil contoh kasus UU Sisdiknas, bagaimana tanggung jawab pemerintah (baca; Negara) dalam pembiayaan pendidikan dikurangi, atas dalih mengajak partisipasi masyarakat agar lebih merasa memiliki. Justru sebaliknya, hal ini membawa konsekuensi pada terjadinya privatisasi dan komodifikasi di kalangan masyarakat.
Belum lagi ditambah dengan kebijakan Badan Hukum Pendidikan (BHMN) yang  mempunyai spirit menjadikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi seperti mengelola Perusahaan, meskipun masih menerima subsidi dari negara PTN diharapkan juga bisa mencari pemasukan dari Mahasiswa. Liberalisasi dan Komodifikasi pendidikan pun menjadi fenomena yang wajar. Meskipun BHMN telah dibatalkan oleh MK, tapi dalam prakteknya spirit BHMN masih berjalan di berbagai PTN ternama di Indonesia. Biaya mengeyam pendidikan tinggi pun semakin mahal, tentu yang berduitlah yang bisa mengaksesnya. Para calon mahasiswa dari kelas menengah ke bawah, dengan kekuatan finansial yang pas-pasan, tentu berpikir empat kali untuk menyekolahkan anak mereka. Meskipun mereka bisa kuliah, mereka hanya mampu masuk pada  program studi yang tidak membutuhkan biaya mahal dan tidak populer dari segi pangsa kerja. Kalau pun ada beasiswa, itu pun hanya bagi yang betul-betul berprestasi dari keluarga miskin, dan bisa dipastikan jumlahnya relatif sedikit sekali.
Kembali soal RSBI, kemunculan pun tidak bisa lepas dari diskursus persaingan bebas di era globalisasi. Pemerintah dengan dasar UU Sisdiknas mempunyai kewajiban untuk membentuk SBI (Sekolah Berstandar Internasional) yang sebelumnya dimulai dengan pembetukan RSBI. Dana khusus pun diberikan dalam rangka mengenjot program ini, untuk SD yang berlabel RSBI diberikan subsidi 500 juta/tahun, SMP subsidi 400 juta/tahun, SMA subsidi 600 juta/tahun dan SMK 950 juta/tahun.  Belum lagi ditambah dengan beasiswa bagi guru yang mengajar di sekolah yang ber-label RSBI. Tentu sekolah yang berlabel RSBI adalah sekolah yang memang sudah cukup dan memang berkualitas di daerah masing-masing yang didukung dengan SDM dan finansial mencukupi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana nasib sekolah yang dianggap tidak favorit, pinggiran atau bahkan di daerah terpencil?
Tentu nasib mereka semakin mengenaskan, karena tidak menjadi perhatian utama atau prioritas kebijakan pemerintah. Padahal merekalah yang sebenarnya juga tak kalah untuk diperhatikan. Fakta yang lebih menyakitkan lagi adalah meskipun anggaran pendidikan sudah ditambah ternyata banyak infrastruktur sekolah (yang dianggap pinggiran dan kurang berprestasi) baik di kota, desa dan daerah pinggiran cukup memprihatinkan. Kasus sekolah seperti kandang ayam, sekolah roboh, dan sekolah tidak mempunyai guru yang mencukupi sudah jamak kita dengar. Belum lagi ditambah dengan kasus bocornya anggaran pendidikan di berbagai daerah akibat perilaku korup birokrasi.
Kalau dilihat dari perspektif kritis, RSBI jelas diperuntukan bagi masyarakat kelas menengah atas. Argumentasi bahwa RSBI dimaksudkan untuk menampung siswa yang berprestasi dan alasan menghemat devisa negara, karena meminimalisir orang-orang kaya menyekolahkan anak mereka ke luar negeri, jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok menengah atas. Dan memang secara faktual, siswa yang masuk ke RSBI adalah mereka yang berasal dari “kasta sosial” menengah atas. Tidak ada argumentasi khusus pemerintah tentang RSBI yang dikaitkan dengan kepentingan kelompok mayoritas masyarakat yang tidak beruntung. Padahal pemerataan kualitas pendidikan bagi kelas sosial yang tidak beruntung inilah yang seharusnya diutamakan.
Sebagai program (sekolah/kelas) internasional RSBI tentu membutuhkan pendanaan yang juga “bertarif internasional” untuk mengembangkan kualitas  suprastruktur, struktur dan infrastruktur pendidikan. Meskipun pemerintah memberikan subsidi di masing-masing jenjang pendidikan, masih saja banyak ditemui  sekolah yang ber-“merk” RSBI memungut tambahan biaya. Seakan-akan dengan label RSBI sekolah mendapatkan legitimasi untuk menarik biaya kepada siswa, dan bagi sekolah yang nakal menjadikan media menambah pemasukan tambahan. Bagi orang tua (kaya) yang terobsesi agar anaknya bisa menyandang siswa berkelas “internasional” tentu dana bukan halangan. Kalau perlu, meskipun sebenarnya anaknya tidak terseleksi masuk sekolah/kelas internasional, mereka akan berusaha merayu atau bahkan menyuap pihak sekolah demi social prestige.
Meskipun belum ada penelitian secara resmi tentang kelas sosial siswa yang masuk di RSBI, tetapi saya berasumsi bahwa “mayoritas” berasal dari kelas sosial menengah atas. Ada beberapa argumentasi yang perlu dibuktikan; pertama; siswa yang siap masuk RSBI adalah mereka anak-anak yang secara asupan gizi tercukupi atau bahkan lebih, sehingga mempengaruhi kesehatan dan kecerdasan anak secara biologis. Kedua; anak-anak secara akademik cukup baik, khusus-nya dalam mata pelajaran matematika, IPA, dan bahasa Inggris. Untuk menguasai mata pelajaran ini biasanya orang tua memberikan les tambahan atau kalau perlu les privat untuk menguasai mata pelajaran yang menjadi syarat utama masuk kelas Internasional. Ketiga, diperlukan tambahan dana khusus untuk mengikuti kelas internasional; mulai dari buku billingual, laptop, ujian internasional dan kebutuhan lainnya yang berbeda dengan sekolah/kelas reguler. Ketiga, budaya sekolah/kelas. Bagi siswa RSBI; misalnya siswa SMA 5 Surabaya, mereka seperti pindah kelas dari sekolah elit/favorit sebelumnya yang juga berlabel RSBI, yang juga mayoritas berasal dari kelas menengah atas, mereka akan sangat mudah menyesuaikan budaya belajar dengan sekolah/kelas internasional. Meskipun ada siswa dari kelas menengah bawah yang berprestasi jumlahnya relatif kecil yang bisa masuk RSBI. Kalau pun mereka bisa masuk ke kelas internasional, mereka akan mengalami shock culture ketika berinteraksi dengan teman-teman mereka yang berasal dari kelas menengah atas dengan life style yang berbeda.
Siswa-siswa alumni RSBI (nantinya SBI) akan dengan mudah masuk PTN favorit atau bahkan Perguruan Tinggi luar negeri. Dengan label alumnus SBI tentu sangat mudah bagi mereka mengikuti pelajaran di perguruan tinggi. Di kampus-kampus ternama itulah mereka memperkuat modal budaya, sosial dan simbolik mereka baik bergabung dengan organisasi intra kampus, organisasi ekstra, atau pun profesi, sehingga ketika mereka lulus kampus mereka sudah sangat siap untuk bersaing di dunia nyata. Dengan ilmu, skill dan jaringan yang mereka miliki tentu sangat gampang kalau hanya sekedar untuk bekerja atau membangun bisnis. Hal itu pun akan dilakukan oleh anak-anak mereka, sehingga ketika anak mereka masuk sekolah/perguruan tinggi favorit, sebenarnya mereka hanya menjaga tradisi keluarga (kelas menengah atas). Dan kalau pun mereka berprestasi, itu merupakan suatu hal yang wajar, dan bukan hal yang luar biasa karena mereka telah memiliki prasyarat untuk meraihnya. Kondisi ini akan sangat berbeda apabila terjadi pada anak kelas menengah bawah, mereka bukan menjaga tradisi tapi melakukan “perjuangan kelas” atau “mobilitas vertikal”.
Akhirnya, berangkat dari realitas RSBI dapat dilihat bahwa pendidikan kita masih belum mampu mem-produksi sistem sosial baru. Tapi sebaliknya, hanya mampu me-reproduksi sistem sosial status quo. Sehingga pendidikan belum mampu menjadi kekuatan untuk melakukan transformasi sosial, tapi hanya melegitimasi sistem sosial yang dominan. Dalam kasus ini, RSBI bisa dianggap berperan aktif dalam memproduksi dan merepoduksi kesenjangan sosial.**


[1] Dosen pada Prodi Sosiologi Unesa, meminati kajian Sosiologi Pendidikan, Pendidikan Kritis, dan Cultural Studies.
Selengkapnya »

Senin, 03 Februari 2014

Membangun Habitus Membaca di Sekolah

1 komentar
Oleh Moh. Mudzakkir

Berdasarkan laporan dari Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2009 Indonesia hanya bisa mencapai peringkat 10 besar terbawah dari 65 negara. Kemampuan siswa yang dinilai meliputi tiga bidang; Reading (57), Science (60), dan Mathematics (61).  Dalam kemampuan membaca, Indonesia masih kalah dengan Thailand, yang menempati posisi ke-50. Bila dibandingkan dengan  Jepang, jarak Indonesia semakin lebih jauh. Jepang menempati posisi ke-8 dalam hasil survey tersebut. Apalagi bila dibandingkan dengan Korea Selatan dan Singapura yang masing-masing menduduki posisi ke 2 dan 5. Posisi pertama justru diraih oleh negeri Tirai bambu Cina, yang mempunyai minat dan kemampuan membaca tertinggi jauh meninggalkan negeri adidaya Amerika Serikat yang hanya bertengger di peringkat ke 17.
Survei ini tentu cukup mencengangkan tapi sekaligus menunjukkan perubahan peta dunia. Bila selama ini Amerika Serikat beberapa dekade berada di posisi lima besar, justru saat ini terlempar ke 20 besar. Bahkan persoalan penurunan peringkat ini telah menjadi isu nasional di negeri Paman Sam, yaitu perlunya evalusi terhadap sistem pendidikan mereka, khususnya dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan sains. Fareed Zakaria, seorang pengamat politik Internasional terkemuka Amerika, keturunan India-muslim, melihat bahwa persoalan ini bisa menjadi persoalan serius bagi masa depan bangsa Amerika Serikat. Oleh karena itu menurutnya, Pemerintah harus segera mencari solusi untuk memperbaiki dan meningkatkan peringkat tersebut, yaitu dengan jalan mereformasi pendidikan. Bukan hanya itu saja, kegelisahan itu pun segera direspon oleh Bill Gates, bos Microsoft dan pendiri The Gate Foundation, dengan mendonasikan dana sebesar 5 miliar dolar US untuk sekolah, perpustakan, dan beasiswa. 

Mungkin bisa dipahami kegelisahan yang dialami oleh Amerika Serikat bila dibandingkan dengan posisi Cina sebagai kompetitor mereka yang semakin menguat. Negeri yang mempunyai penduduk terbesar di dunia ini ternyata mampu bangkit dengan cepat dari ketertinggalan selama dua dekade. Bukan hanya dalam hal kemampuan membaca, matematika, sains, saja tapi juga dalam hal ekonomi, teknologi, bahkan dalam hal olah raga.  Sudah dua kali Olimpiade, Cina mampu mempertahankan diri sebagai juara umum di perhelatan olahraga bergengsi dunia tersebut. Dan yang paling mutakhir, Cina juga mampu menyandingkan Piala Thomas dan Uber yang beberapa dekade lalu menjadi langganan Indonesia. Mungkin peradaban dunia sedang berputar kembali, dan Cina kembali ke era keemasannya.  Era ketika kertas pertama kali ditemukan dan bermunculannya karya-karya sastra terbaik karya pujangga Cina, baik yang ditulis pada era sebelum masehi maupun setelahnya. Maka bukanlah sebuah kebetulan, bila Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “carilah ilmu hingga ke negeri Cina”. 

Hasil survey yang dirilis oleh PISA tentu bukanlah sesuatu yang mengagetkan bila dikaitkan dengan tradisi literasi kita, khususnya lagi dalam tradisi membaca. Seakan-akan survey tersebut memperkuat pernyataan Taufiq Ismail, seorang maestro puisi sekaligus juga pengelola Majalah Sastra Horison, bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami Tragedi Nol Buku alias kekurangan membaca buku. Ia sangat sedih melihat budaya kita yang kian jauh dari tradisi membaca. Ia juga membandingkan di masa perjuangan kemerdekaan. Ia mengatakan bila para aktivis kemerdekaan itu memiliki budaya baca yang sangat tinggi. Tidak heran bila mereka memiliki pemikiran yang visioner dalam membangun bangsa ini. Memiliki langkah-langkah yang strategis dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Kemampuan mengorganisir perjuangan kemerdekaan itu diperoleh dari bahan bacaan mereka yang beraneka ragam. Gagasan brilian dalam melawan segala tipu muslihat penjajah merupakan rangkuman dari intisari buku-buku yang mereka baca (Rohmani, 2011).

Persoalan rendahnya tradisi membaca bukanlah persoalan lembaga pendidikan saja, tapi juga masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini bisa kita lihat dari kebiasaan membaca di masyarakat kita masih sangat rendah. Membaca belum menjadi sebuah kewajiban dan pengisi waktu luang (leasure time) atau lebih tinggi lagi menjadi bagian dari gaya hidup (Life style). Tetapi kebanyakan lebih menyukai menonton televisi untuk mengisi waktu luang, atau jalan-jalan ke mal melihat pakaian dan barang elektronik dari pada melihat dan membuka-buka buku di Gramedia atau Toga Mas. Mengobrol atau meng-gosip ketika menunggu sesuatu baik ketika di ruang kerja atau di perjalanan, dari pada membaca buku. Di tambah lagi, buku juga belum menjadi barang yang menjadi prioritas utama dan lebih baik untuk membeli barang lainnya. Kalau pun ada uang lebih mending untuk membeli barang-barang elektronik mutakhir, seperti HP misalnya. Itu lah realitas kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita yang masih jauh dari tradisi membaca. 


Saya ingin mengatakan bahwa pendidikan tidak vacuum dari realitas sosial. Ketika kita berharap agar para siswa mempunyai tradisi membaca-tulis yang kokoh, tapi di sisi lain ketika mereka kembali ke keluarga, tetangga, dan masyarakat secara luas tidak terbiasa dengan tradisi literal tapi lebih dominan tradisi oral, maka usaha mulia ini menghadapi tantangan yang cukup serius. Belum lagi di tengah tradisi konsumerisme masyarakat kita yang semakin menggila, khususnya dalam mengonsumsi produk-produk elektronik mutakhir. Hal ini juga berimbas kepada anak didik, yang tanpa sadar mereka juga mempunyai kecenderungan menjadi seorang konsumeris dengan mantra “saya menjadi ada karena mempunyai HP terbaru”. Bukannya justru sebaliknya “saya membaca buku baru maka saya ada”, itu lebih baik. 

Meskipun demikian kita harus optimis untuk membangun tradisi membaca di kalangan generasi muda, agar mereka terhindar dari “rabun membaca dan tumpul menulis”. Gerakan-gerakan yang ditujukan untuk meningkatkan minat baca banyak dilakukan masyarakat, misalnya dalam bentuk kampaye pentingnya membaca, lomba menulis, meresensi atau meringkas; pendirian taman bacaan dan perpustakaan umum; dan sebagainya. Gerakan sastra masuk sekolah yang dipimpin oleh budayawan Taufik Abdullah, merajuk anak didik, terutama yang duduk di sekolah menengah atas untuk membaca karya sastra. Ia mencanangkan 6 gerakan sastra, yaitu menerbitkan sisipan “Kaki Langit” di majalah Horison sejak 1996 untuk karya siswa SMU; melatih guru-guru SMU dalam sastra sejak 1999; menggelar acara “Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya” di berbagai sekolah menengah; demikian pula di perguruan tinggi; lomba mengulas karya sastra dan menulis cerita pendek untuk guru SMU; dan membentuk sanggar sastra untuk siswa (Laksmi, 2004). Dan itu bisa direduplikasi di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah di setiap level, dengan pendekatan dan materi yang kontekstual tentunya. 

Hingga saat ini, kurikulum pendidikan di sekolah masih sangat memprihatinkan. Dalam kurikulum, kegiatan membaca di sekolah belum menjadi prioritas utama, apalagi membaca karya sastra. Padahal kemampuan baca tulis dan sekaligus menjadikannya sebagai sebuah habitus (kebiasaan) merupakan pondasi awal bagi pengembangan akademik lainnya. Apabila sekolah tidak mampu membangun lingkungan yang  akrab dengan tradisi membaca, maka sekolah ikut berkontribusi dalam tragedi nol buku, seperti yang diutarakan oleh Taufiq Ismail. Memang usaha untuk merubah keadaan ini tidak gampang, namun juga bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk kita pecahkan. Masalah ini bukan sekedar masalah sekolah, tapi juga menyangkut struktur (negara yang) dan kultur (budaya) yang tidak bersahabat dengan membangun kultur membaca. 

Dengan keseriusan yang tinggi, saya yakin sekolah mampu membangun habitus (kebiasaan) membaca di kalangan siswa-siswinya. Tentu niatan tersebut harus direalisasikan dalam bentuk program dan kegiatan yang nyata dan berkelanjutan. Banyak strategi yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah, dan salah satu strategi yang bagus adalah seperti yang disampaikan oleh Rahadjo (2004), yaitu:

 1. Menciptakan suasana. a) Membuat komitmen seluruh guru. Pendidik ini sangat penting dalam memberi teladan dan menumbuhkan rasa cinta terhadap buku. Komitmen sebaiknya juga membantu dan mengajarkan kepada murid bagaimana memahami bacaan. b) Membuat program khusus yang terintegrasi. Murid akan berfikir bahwa kegiatan baca-tulis penting jika sekolah membuatnya menjadi program khusus. Program yang dimaksud adalah: membuat surat kabar/majalah/majalah dinding/kliping, membentuk klub pecinta buku, membuka toko buku/koperasi sekolah, memberikan ceramah/bimbingan pemakai secara rutin, memperingati Hari Buku, dan kunjungan pengarang/illustrator : resensi buku, diskusi, bedah buku, pelajaran teknik menulis, dan penghargaan kepada siswa-siswi yang mempunyai karya.

2. Perpustakaan sekolah yang memadai.  a)  Koleksi di perpustakaan sekolah sebaiknya sesuai dengan jenis dan kebutuhan sekolah, tertata rapi, terawat, mudah ditemukan terus dan ditambah. b) Pustakawan profesional sebaiknya menjaga komitmen dalam pekerjaannya, yaitu memberi teladan kepada anak didik, mengembangkan pengetahuan mengenai perpustakaan dan mempelajari metode pengajaran, kurikulum sekolah, sekaligus mempelajari perilaku manusia. c) Sarana dan program perpustakaan. Perabotan yang nyaman,  perlengkapan memadai,  jam buka dan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan menciptakan suasana yang menyenangkan.

3. Membaca bersama dan berbagi pengalaman. Kegiatan membaca yang kita kenal umumnya adalah membaca dengan diam. Bagi sebagian orang, kegiatan ini terasa berat dan membosankan. Agar menarik, kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara lain, seperti : membaca bergiliran, mengadakan acara jam bercerita, membaca kumpulan puisi atau cerpen, mengadakan diskusi buku mengenai ceritanya, pengarang, ilustrasi, pengalaman individu yang serupa, dan lainnya.

4.      Melakukan aktivitas. Guru atau pustakawan dapat mengembangkan kegiatan membaca melalui berbagai aktivitas, seperti: a) membuat proyek bacaan (mendata buku seperti pekerjaan yang dilakukan pustakawan). b) membaca secara kreatif dengan menggambar, menjahit, membuat pembatas buku, boneka, topeng, kolase, bendera, film, jaket buku, kartu ucapan, penahan buku, brosur, iklan, kartun, puisi, lagu, pantomim, drama, teka-teki, permainan, dan lainnya. c) Membuat karangan karya sastra sederhana, membuat komentar atau ringkasan, diari, dan lainnya. d) Belajar melalui gambar/barang, kunjungan, kliping, musik, teka-teki, atau mengintegrasikan pelajaran-pelajaran. e) Mengadakan pertunjukan drama, panggung boneka, dan lainnya yang dikaitkan dengan dunia buku. f) Mengadakan kunjungan ke toko buku, penerbitan, percetakan, perpustakaan lain. g) Mengkampanyekan buku-buku terbaik. h) Mengadakan tukar menukar buku dengan perpustakaan, atau sekolah lain. i) Mengadakan bazaar, pameran, atau lomba yang berkaitan dengan buku, dan memilih duta buku; Cak atau Yuk (Putra dan Putri Jatim sebagai Duta) Buku atau Jambore buku.

Menurut saya, apapun gagasan atau pun pemikiran besar kita, tetap harus dimulai dari langkah kecil dan sederhana. Kualitas membaca yang rendah merupakan persoalan bangsa Indonesia secara umum.  Bukan hanya terjadi di lembaga pendidikan, tapi juga dalam kehidupan masyarakat kita. Keluarga dan sekolah (pendidikan dasar) merupakan pondasi awal bagi anak didik untuk mengembangkan intelektualitasnya, dan salah satu keahlian yang sangat penting adalah membaca.  Dan  kemudian diikuti oleh keahlian berikutnya yaitu menulis.  
“Membaca membuka cakrawala dunia” ternyata bukanlah sekedar pepatah kosong tanpa makna. Serta bukanlah sebuah kebetulan ketika Cina saat ini kembali menjadi raksasa dunia. Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari kemampuan membaca generasi mudanya yang menduduki peringkat pertama di dunia saat ini. Akhirnya, kita harus betul-betul meresapi perintah membaca sebagai wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad SAW.  Jadi “membaca” adalah syarat wajib agar kita bisa menyingkap dan menguasai dunia. Seperti yang dilakukan oleh generasi muda Cina saat ini. Bagaimana dengan kita?

**Pernah dimuat dalam Majalah Cikal, SD Muhammadiyah Manyar Gresik.
Selengkapnya »
Next Post Previous Post Homepage
 

Copyright © MUDZAKKIROLOGY | reDesigned by Orangbiasaji | Proudly Powered by Blogger