Oleh Moh. Mudzakkir**
*pernah dimuat di Koran Editor dengan judul Selebriti dalam Pilkada Jabar, 27 November 2012.
**Penulis adalah Dosen Sosiologi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas`Negeri Surabaya (Unesa).
Selengkapnya »
Anies Baswedan dalam salah satu artikelnya di media nasional (31
Oktober 2006) mengatakan bahwa dalam 100 tahun sejarah politik Indonesia mengalami transformasi ruling elite. Ia mencoba melihat
berdasarkan perekrutan kaum muda dan tren utama yang mendominasi
kehidupan berbangsa. Dengan menggunakan perspektif historical comparative,
Anies melihat perubahan pembentukan elit terjadi dalam tiga pola, dari
kepemimpinan elit intelektual pada masa era awal kemerdekaan hingga orde
lama, elit militer pada masa orde baru (Soeharto), kemudian berubah di
era reformasi (saat ini) beralih ke elit yang berasal dari para mantan
aktivis gerakan mahasiswa.
Berdasarkan tren utama dunia dan bangsa Indonesia saat ini, maka
bidang ekonomi atau pasar sangat mempengaruhi seluruh bidang kehidupan
lainnya, tidak terkecuali bidang politik. Dalam waktu satu-dua dekade ke
depan kemungkinan yang berpeluang menjadi ruling elite Indonesia adalah mereka yang berkiprah di dunia ekonomi, bisnis atau pasar. Ruling elite yang
dimaksud di sini adalah sekelompok elite, di antara kaum elite-elite
yang lain, yang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara.
Tesis Anies mungkin ada benarnya bila kita melihat semakin banyak para
pengusaha yang masuk ke panggung politik, mulai dari level pusat hingga
kabupaten. Mereka bukan hanya menjadi anggota legislatif tapi juga ada
yang telah berhasil menduduki jabatan eksekutif baik itu di tingkat
kabupaten/kota atau Gubernur.
Meskipun demikian, bila dikaitkan dengan kasus Pilkada Jawa Barat
yang akan datang, tentu tesis Anies Baswedan perlu ditinjau kembali
kebenarannya. Pembacaan politik terhadap masyarakat dalam konteks
kultural oleh Anies agak dinafikan. Seakan-akan dengan kemampuan
finansial dan pengalaman manajerial ketika memimpin usaha dianggap
memadai untuk merebut kepemimpinan politik. Ia lupa, bahwa modal budaya
dan modal simbolik ternyata mempunyai nilai tawar yang tinggi era
postmodernitas yang seperti saat ini. Era di mana gerak sejarah manusia
bukan lagi secara deterministik ditentukan oleh basis material (ekonomi)
tapi juga adanya kontestasi dengan ranah (field) kehidupan lainnya yang saling bergantian mendominasi kehidupan manusia, salah satunya adalah bidang budaya.
Cara pandang determinisme ekonomi dianggap sudah tidak lagi mumpuni
untuk menjelaskan realitas kehidupan manusia yang semakin kompleks.
Kritik terhadap cara pandang reduksionisme ini sudah banyak dilakukan
oleh para teoritisi sosial budaya kontemporer. Mungkin benar kehidupan
kita saat ini sangat dipengaruhi oleh logika market yang hampir
mempengaruhi segala aspek kehidupan, tidak terkecuali bidang politik.
Namun kalau kita cermati, bentuk kapitalisme saat ini bukanlah
kapitalisme yang bertujuan memproduksi “barang” dan “untuk memenuhi
kebutuhan” manusia, tapi kapitalisme mutakhir yang memproduksi “tanda”
dan “untuk memenuhi hasrat keinginan”. “Tanda” menjadi sesuatu yang
sangat berharga, bahkan masyarakat rela untuk membelinya dengan mahal.
Dan itulah yang saat ini menggerakan roda kapitalisme mutakhir.
Selebriti sebagai status sosial muncul dari rahim kapitalisme yang
digerakkan oleh media yang memproduksi tanda, termasuk tanda “selebriti”
itu sendiri. Dengan identitas selebriti yang dimiliki, sesorang bisa
menjadi magnet pemberitaan media massa. Bukan hanya pemberitaan yang
terkait dengan pekerjaan mereka sebagai penyanyi, aktor/aktris, bintang
iklan, tapi juga terkait dengan urusan pribadi mereka. Bahkan berbagai
stasiun TV berlomba-lomba membuat program (informasi dan entertainment
disingkat infotainment) yang secara khusus memberitakan
dinamika kehidupan “para pesohor tersebut”. Saking seringnya para
selebriti tersebut diberitakan oleh media, maka semakin populer-lah nama
mereka di tengah-tengah masyarakat. Ditambah mereka juga mempunyai
kelompok fans fanantik dengan berbagai macam komunitas yang dibentuk
dalam rangka mengikuti perkembangan info kegiatan, fashion, hingga gaya
hidup (lifestyle) idola mereka. Bila dikaitkan dengan politik,
maka para selebriti telah mempunyai modal popularitas. Meskipun modal
tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas bila mereka
terjun ke dunia politik.
Dalam kontestasi Pilkada Jabar modal ekonomi bukanlah faktor
determinan. Hal ini terlihat dari para kandidat yang maju bukanlah orang
yang berangkat dari dunia pasar, ekonomi atau bisnis, tapi dari dunia
politik, budaya, dan aktivisme sosial. Berdasarkan informasi dari
berbagai pemberitaan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang
akan maju dalam Pilkada Jawa Barat dalah; pasangan Dede Yusuf-Lex
Laksamana (PD, PAN), Ahmad Heryawan-Dedy Mizwar (PKS, PPP Hanura, PBB),
Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki (PDIP, serta pasangan Yence-Tatang
(Golkar).
Dari beberapa pasangan di atas, ada tiga pasangan yang salah satu
tandemnya (calon gubernur atau wakil) berasal dari latar belakang
selebriti. Tiga orang tersebut adalah, pertama; Dede Yusuf mantan aktor laga yang sebelumnya adalah petahana (incumbent) wakil gubernur dan sekarang mencalonkan diri sebagai calon gubernur. Kedua,
Dedy Mizwar yang sebelumnya dikenal sebagai aktor kawakan sekaligus
sutradara juga maju digandeng oleh Ahmad Heryawan, gubernur petahana (incumbent) sebagai calon wakil gubernur yang diusung oleh partai utama PKS. Dan Ketiga,
Rieke Diah Pitaloka, seorang artis yang melabung namanya berkat komedi
situasi, juga maju sebagai calon gubernur berpasangan dengan Teten
Masduki (aktivis pegiat anti korupsi) yang juga tak kalah populernya di
kalangan media.
Kalau saja Nurul Arifin, mantan aktris, juga bersedia maju menjadi
calon gubernur dan wakil gubernur dari partai beringin, tentu Pilkada
Jawa Barat akan jauh lebih semarak dibanding dengan berbagai pilkada
yang pernah ada di seluruh Indonesia. Tapi sayang, di tengah perjalanan
Nurul Arifin tidak bersedia dengan berbagai alasan yang tidak
disampaikan kepada publik. Akhirnya Partai Golkar mengusung pasangan
yang bukan dari pesohor layaknya ketiga pasangan yang sudah saya
sebutkan di atas. Tentu ini merupakan langkah yang cukup berani bagi
Partai yang berkuasa di era orde baru ini, bila dihadapkan dengan ketiga
pasangan lainnya yang berasal dari kalangan selebriti.
Sebelum Pilkada Jabar sudah banyak para pesohor terlibat dalam
kontestasi Pilkada tingkat provinsi, seperti Marisa Haque dan Rano Karno
di Pilkada Banten, dan Helmi Yahya di Sumatera Selatan. Marisa Haque
dan Helmi Yahya kalah, sedangkan Rano Karno yang digandeng Gubernur
petahana (incumbent) Banten Ratu Atut Chosiyah mendapatkan
kemenangan. Bintang sinetron Zumi Zola memperoleh kemenangan dalam
pilkada dan kemudian menjadi Bupati di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Jambi. Rano Karno, si Doel, sebelum menjadi wakil Gubernur juga pernah
menjadi wakil Bupati di Tanggerang. Dicky Candra mantan aktor sinetron,
meskipun mengundurkan diri karena pecah kongsi dengan Bupati, juga
pernah menjadi wakil gubernur di Garut Jawa Barat. Dan yang terakhir,
Primus Yustisio, pernah maju dan gagal dalam pilkada di Subang pada
tahun 2008. Meskipun demikian pemeran utama sinetron “Panji Manusia Milineum” ini, telah mendeklarasikan diri akan maju kembali menjadi calon bupati Subang tahun 2013 mendatang dari PAN.
Kemunculan selebriti yang maju dalam berbagai pilkada tentu merupakan
fenomena baru dalam dua dekade terakhir ini. Berangkat dari data yang
ada, Jawa Barat adalah provinsi yang memiliki kandidat terbanyak calon
gubernur-wakil gubernur serta bupati-wakil bupati yang berasal dari
kalangan selebriti dibanding dengan daerah lain. Keberhasilan Ahmad
Heryawan-Dedy Yusuf dalam Pilkada Jabar pada 2008 lalu seakan-akan
dijadikan pelajaran oleh partai-partai politik. Bahwa mengusung
selebriti ternyata mampu mendongkrang suara bahkan meraih kemenangan
dalam pilkada tersebut.
Setelah Dede Yusuf memutuskan untuk maju sendiri dalam Pilkada Jabar
2013 melalui PD dan PAN, Ahmad Heryawan (PKS dan partai pendukung)
segera mencari pasangan dari kalangan selebriti (Dedy Mizwar) yang tidak
kalah popularitas dan senioritas-nya dibandingkan dengan tandem
sebelumnya. PDIP pun juga tidak mau ketinggalan, sadar bahwa para
pesaing mereka memajukan calon pasangan yang berasal dari “pesohor”,
maka Rieke Diah Pitaloka, artis yang meroket namanya melalui peran Oneng,
pun diajukan oleh partai banteng moncong putih sebagai calon gubernur.
Ia mengandeng Teten Masduki, seorang aktivis anti korupsi yang cukup
popular sekaligus pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW),
sebagai calon wakil gubernur. Golkar tidak mau ikut-ikutan, dan justru
lebih percaya terhadap kader partai yang bukan berasal dari kalangan
selebriti.
Pilkada Jawa Barat kali ini bukan hanya menawarkan persaingan politik
yang cukup panas dan sengit, tapi juga tontonan dan hiburan yang
menarik perhatian publik. Mungkin faktor utama yang menggerakkannya
adalah banyaknya selebriti yang menjadi calon dari ketiga pasangan
kandidat tersebut. Bisa jadi peristiwa pilkada ini tidak dilihat sebagai
kontestasi politik saja, tapi justru sebagai semacam konser, panggung
hiburan atau bahkan forum pertemuan antara idol dengan para
penggemar mereka. Pilkada akan menjadi tontonan yang menarik, layaknya
mereka kembali menyaksikan akting Dedy Mizwar dalam film “Naga Bonar”, “Naga Bonar jadi 2”, atau Sinetron “Para Pencari Tuhan”. Perhelatan ini juga mengingatkan kembali masyarakat kepada sosok Dedy Yusuf dalam sinetron berseri “Jendela Rumah Kita” dan film “Catatan Si Boy” serta kekonyolan yang menghibur yang ditunjukkan oleh Oneng (Rieke Diah Pitaloka) dalam komedi situasi “Bajai Bajuri”.
Pengamat dan Peneliti Popular Culture dari LIPI, Wahyudi
Akmaliah memandang bahwa pertarungan antar para kandidat dalam Pilkada
Jabar bukan hanya dalam soal menwarkan visi dan misi politik, tapi juga
dalam pertarungan pencitraan sebagai “selebriti iklan”. Rakyat Jawa
Barat mungkin akan lebih mengenal Dede Yusuf sebagai bintang iklan
“Bodrex”, Dedy Mizwar sebagai bintang iklan “Promag”, “Sosis So Nice”,
atau “Enzim”, atau Rieke Diah Pitaloka dengan “Kuku Bima TL”-nya.
Pasangan mana yang akan mendapatkan simpati dan suara tergantung tawaran
“resep” konkret apa yang mereka ajukan kepada para konstituen.
Guyonannya, bila rakyat Jabar mengindap “sakit kepala” maka Dedy Yusuf
akan banyak dipilih karena menawarkan obat sakit kepala “Bodrex”. Dedy
Mizwar akan mendapatkan simpati dan dukungan bila banyak masyarakat
“sakit maag” karena memberi ”promag”. Selanjutnya, Rieke Diah Pitaloka
dipilih karena rakyat membutuhkan suplemen “Kuku Bima TL” agar
masyarakat tetap “roso” (kuat bertenaga).
Rakyat Jabar bisa jadi akan memilih para pasangan kandidat bukan
didasarkan pada cara berfikir politik, hubungan antara pemimpin dan
warga yang memberikan mandat politik untuk memperjuangan hak-hak mereka
sebagai warga negara. Tapi bisa jadi mereka akan menggunakan hak suara
mereka lebih didasarkan pada pertimbangan relasi Idols-fans
yang fanatis dan histeris. Kalau hal tersebut terjadi, maka itu
menunjukkan masyarakat kita sudah sangat terhegemoni oleh budaya popular
yang disebarkan oleh media massa.
Tidak ada yang melarang para selebriti menggunakan hak konstitusional
mereka untuk menjadi pemimpin. Banyak pihak yang mengkritik atau bahkan
mencemooh partai politik yang mengajukan kandidat dalam pilkada dari
kalangan selebriti. Parpol dianggap gagal melakukan kaderisasi internal
serta cenderung memilih jalan pintas untuk berkuasa dengan mengandalkan
popularitas selebriti. Bisa jadi mamang itulah fakta partai politik saat
ini. Meskipun demikian, kita juga harus melihat secara objektif bahwa
tidak semua selebriti mengandalkan popularitas an sich. Tapi
juga ada beberapa yang memang secara kapabilitas dan integritas layak
untuk diberi kesempatan memimpin, sama dengan kelompok sosial lainnya.
Jadi bukan hanya mereka yang berasal dari kalangan aktivis, militer,
aktivis mahasiswa, dan pengusaha yang bisa menjadi ruling elite, selebriti pun juga bisa. Mungkin saja, kita lihat saja nanti.
*pernah dimuat di Koran Editor dengan judul Selebriti dalam Pilkada Jabar, 27 November 2012.
**Penulis adalah Dosen Sosiologi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas`Negeri Surabaya (Unesa).