Kamis, 06 Februari 2014

Beasiswa Presiden dan Universitas Terbaik

Oleh Moh. Mudzakkir
Dosen Sosiologi Pendidikan dan peminat Higher Education Studies
di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya (UNESA)


Satu bulan yang lalu (Jum’at 03/01/2014) Menteri Pendidikan dan kebudayaan Indonesia, Muhammad Nuh menyampaikan rencana pemberian beasiswa bagi warga negara Indonesia yang diterima di 50 universitas terbaik dunia. Beasiswa tersebut akan diberi nama Presidential Scholarship (Beasiswa Presiden) dan Governmental Scholarship (beasiswa Pemerintah), sebagai bentuk apresiasi dan sekaligus juga sebagai upaya membangkitkan kebanggaan anak-anak Indonesia yang berprestasi. Lebih lanjut, Nuh juga mengungkapkan karena beasiswa ini mempunyai prestige (bisa diterima di kampus kelas dunia), maka jumlah besarannya akan lebih banyak dibanding beasiswa lainnya. Anggaran beasiswa tersebut akan membutuhkan dana sebesar Rp. 16,6 triliun. Program beasiswa ini diberikan sebagai bagian usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar mampu bersaing di dunia internasional, khususnya di bidang pendidikan tinggi.

Rencana program beasiswa presiden belum banyak mendapatkan respon kritis dari publik, terutama di kalangan pengamat pendidikan dan akademisi di Perguruan Tinggi Indonesia. Mungkin karena wacana ini tertutupi oleh hiruk pikuk persiapan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Padahal dalam pandangan penulis, rencana program dengan dana yang sangat besar ini seharusnya bisa dijadikan pintu masuk untuk memperdebatkan tentang arah reformasi Pendidikan Tinggi di Indonesia. Yaitu membangun program pengembangan PT yang mempunyai budaya akademik unggul, berkualitas, serta mampu berdaya saing secara internasional. Dan salah salah satu upayanya adalah dengan meningkatan kualitas kelimuan, pengalaman dan interaksi secara internasional bagi para (calon) pengajar dan peneliti di Perguruan Tinggi di Indonesia. Dan wujud konkretnya adalah dengan mendorong agar para calon pengajar dan peneliti dapat melanjutkan studi ke jengjang strata dua dan strata tiga di berbagai kampus terbaik dunia.

Mungkin dalam pandangan Mendikbud, semakin banyak mahasiswa (calon pengajar dan peneliti) Indonesia yang belajar di kampus elit dunia, baik yang berada di Amerika Serikat dan Eropa, sebut saja misalnya; Universitas Harvard, Universitas Columbia, UC Berkeley, Universitas Cambridge, Universitas Oxford, dan lainnya secara otomatis juga akan meningkatkan kualitas pengajaran, penelitian dan pendidikan di perguruan tinggi Indonesia. Pandangan ini sekilas mampu menjawab masalah kualitas mutu dan kinerja pendidikan tinggi di Indonesia, padahal tidak segampang yang dibayangkan. Perlu persiapan yang matang, jangkauan jauh ke depan, dan tidak serampangan.

Sebelum merealisasikan program beasiswa Presidential Scholarship, kemendikbud perlu memperjelas tentang “50 Perguruan Tinggi/Universitas terbaik di dunia”. Mengapa demikian? karena hal ini terkait dengan rujukan terhadap sistem perangkingan universitas yang ada di dunia. Perlu diketahui bahwa ada beberapa lembaga yang melakukan survei untuk menilai kualitas, reputasi, hingga pemeringkatan Perguruan Tinggi di seluruh dunia. Sehingga ada standar yang sama untuk dijadikan acuan, baik bagi Kemedikbud sendiri dan tentunya juga bagi perguruan tinggi, baik negeri, swasta dan publik secara umum yang tertarik untuk berbartisipasi dalam program beasiswa tersebut.

Berdasarkan penelusuran penulis ada beberapa lembaga pemeringkatan universitas yang cukup diperhitungkan di dunia, mulai dari Times Higher Education (THE), Academic Ranking of World Universities (ARWU), QS (Quacquarelli Symonds) Top Universities, HEEACT (Higher Education Evaluation and Accreditation Council of Taiwan), 4ICU (International Colleges and Universities), Webometrics dan lainnya. Masing-masing lembaga tersebut memiliki kriteria, indikator, dan metodologi yang berbeda dalam menentukan peringkat Perguruan tinggi di dunia. Meskipun demikian tidak dipungkiri, dari beberapa lembaga tersebut juga memiliki beberapa indikator dan metodologi yang hampir sama.

Pertanyaannya, lembaga mana yang akan dijadikan sebagai rujukan untuk menentukan 50 univeritas terbaik se-dunia tersebut? Kemendikbud tentu harus memberikan argumentasi mengapa harus memilih salah satu diantara lembaga-lembaga survei perguruan tinggi tersebut. Kalau kita cermati lembaga-lembaga survei perguruan tinggi bukan hanya melakukan penilian mutu dan kualitas Institusi Universitas, tapi juga secara spesifik dalam bidang keilmuan yang berada di level program studi atau departemen. Misalnya saja Universitas A masuk menjadi 50 universitas terbaik, tapi dalam perangkingan program studi (disiplin keilmuan) ternyata masuk di peringkat 60 misalnya. Apakah patokannya berdasarkan peringkat kampus (baca Universitas) atau program studi yang ditawarkan oleh PT tersebut? Atau bisa berdasarkan peringkat kedua-duanya, baik di level universitas atau program studi? Persoalan detail ini tentu juga harus sudah diselesaikan terlebih dahulu sebelum kemendikbud meluncurkan program ini kepada publik. Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman atau bahkan misinterpretasi (salah pemahaman).

Penulis tidak tahu pasti apakah nantinya para penerima beasiswa presiden ini juga diikat dengan sebuah komitmen terkait pasca lulus studi di kampus top dunia tersebut. Hal sama sudah dilakukan oleh kemendikbud dalam program beasiswa luar negeri yang saat ini sedang berjalan. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi terjadi brain migration misalnya, karena godaan berkarir di luar negeri lebih menarik (dari segi fasilitas, otonomi, finansial dan lainnya) dibanding di tanah air.

Setelah berhasil menempuh studi master atau doktoral diharapkan kembali ke Indonesia untuk mengabdi di kampus dalam negeri. Hal ini bertujuan agar para penerima beasiswa yang pernah menempuh studi di berbagai kampus top dunia mempunyai tanggungjawab untuk menjadi pelopor perubahan di masing-masing kampus. Mereka mampu menggerakkan budaya akademik yang unggul seperti pengalaman yang telah mereka dapatkan selama menempuh studi di berbagai universitas terbaik dunia. Harapannya mereka bisa menjadi kader-kader akademisi yang berdedikasi dalam pengembangan keilmuan, pengajaran, penelitian, dan inovasi demi kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Program beasiswa luar negeri sudah berjalan sejak era Bambang Sudibyo hingga kemendikbud (dulu kemendiknas) di bawah kepemimpinan Muhammad Nuh. Program ini tentu tidak bisa dipisahkan dari realisasi 20 persen APBN untuk bidang pendidikan, termasuk di dalamnya pengembangan dan peningkatan kualitas Pendidikan Tinggi. Salah satu penerjemahannya adalah untuk beasiswa luar negeri para dosen dan mahasiswa. Meskipun demikian, semoga bukan hanya karena ingin menghabiskan, mempertahankan atau ingin menambah anggaran Kementerian saja, tapi jauh dari pada alasan tersebut. Maka diperlukan monitoring dan evaluasi atau bahkan penelitian secara serius terhadap program beasiswa luar negeri yang sudah dilakukan selama dua periode kepemimpinan SBY. Untuk mengetahui sejauh mana dampak kebijakan beasiswa luar negeri tersebut bagi pendidikan tinggi kita saat ini. Riset-riset apa saja yang sudah dihasilkan oleh para penerima beasiswa, kontribusi peran alumni penerima beasiswa bagi pengembangan kelimuan, serta hambatan apa saja yang mereka hadapi ketika ingin mengembangkan inovasi di kampus ketika kembali. Pertanyaan yang terakhir penting untuk dilontarkan, karena seringkali ketika lulusan luar negeri kembali ke PT asal, bukan menjadi produktif dan inovatif secara keilmuan, tapi justru menjadi stagnan dan frustasi. Hal ini disebabkan karena faktor budaya dan struktur akademik kampus yang tidak kondusif dan jauh dari tata kelola kampus yang baik.

Di tengah banyak kritikan terhadap pemerintahan SBY, paling tidak di bawah pemerintahannya-lah program pemberian beasiswa luar negeri bagi tenaga pendidikan PT dilakukan. Akhirnya, beasiswa luar negeri tetap masih diperlukan bagi pengembangan kualitas pendidikan tinggi Indonesia. Meskipun demikian, itu harus dimasukkan dalam sebuah program pengembangan kualitas Perguruan Tinggi secara keseluruhan. Yaitu dalam rangka membangun tata kelola universitas yang baik dan menghasilkan budaya akademik unggul dari pada dominan budaya birokratis, budaya akademis dari pada budaya feodal dan politis, yang masih banyak terjadi di berbagai kampus baik negeri maupun swasta. Semoga.


Terima Kasih Telah Berkunjung Di Blog MUDZAKKIROLOGY

DMCA.com Dilarang Mengcopy-Paste seluruh atau sebagian artikel di atas dalam bentuk apapun. Hak cipta sepenuhnya dipegang oleh MUDZAKKIROLOGY dan dilindungi oleh Digital Millennium Copyright Act (DMCA). Tindakan Copy-Paste bisa secara otomatis membuat blog/website Anda TERHAPUS DARI INDEX GOOGLE.
Suka artikel ini? Bagikan : Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg

Artikel Terkait :

0 komentar:

Posting Komentar

Next Post Previous Post Homepage
 

Copyright © MUDZAKKIROLOGY | reDesigned by Orangbiasaji | Proudly Powered by Blogger